18/8/2015 0 Comments Menanti Kebangkitan Patriopreneur![]() Ahmad Djauhar, Jumat 17 Agustus 2015 Seorang rekan di salah satu Whatsapp Group yang saya ikuti tiba-tiba nyeletuk, “kenapa tidak ada tokoh entrepreneur yang memperoleh bintang penghargaan dari Presiden Jokowi ya. Mungkinentrepreneurship belum dianggap penting di negeri ini,” kurang lebih demikian komentar rekan tersebut. Rekan tadi mungkin lupa bahwa dari 46 tokoh nasional yang memperoleh berbagai bintang penghargaan tersebut —yang sudah menjadi tradisi dan selalu dibagikan beberapa hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI—terdapat dua tokoh pengusaha dan keduanya kebetulan memiliki hubungan khusus sebagai mertua dan menantu, yakni Mochtar Riady (pendiri Lippo Group) dan Dato Sri Tahir (pendiri Mayapada Group). Atau, menurut kacamata rekan itu, Mochtar dan Tahir tidak dianggap sebagai tokohentrepreneur, melainkan lebih terkenal sebagai bankir, sehingga kawan ini merasa belum adanya keterwakilan dari kalangan penggerak kewirausahaaan yang memperoleh pengakuan negara melalui anugerah bintang jasa tersebut.
Mungkin saja rekan itu tadi beranggapan juga, okelah ada entrepreneur yang beroleh tanda jasa tersebut. Namun, betapa sedikitnya pelaku dunia usaha yang diganjar bintang jasa oleh Jokowi, cuma dua dari 46 alias 4,3% saja. Padahal, sudah terbukti betapa besar jasa para entrepreneurtadi dalam mendorong perekonomian nasional, terutama dalam ikut melancarkan perdagangan, menghasilkan barang dan jasa, serta menyediakan kesempatan kerja. Tanpa kehadiran para wirausahawan tersebut, yang secara langsung maupun tidak juga menginspirasi munculnya entrepreneur muda, pemerintah dipastikan kewalahan ngurusi sendiri ekonomi negeri ini, terutama kepusingan untuk menampung angkatan kerja baru yang semakin hari makin berlimpah. Contoh paling nyata adalah saat-saat sekarang ini, ketika ekonomi nasional sedang terbatuk-batuk, yang terimbas terlebih dulu adalah usaha nasional, terutama golongan bisnis yang demen main impor. Karena, jenis usaha seperti itu pasti kedodoran menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah akibat menguatnya Si Gondrong (greenback) dan pada gilirannya menjadikan berbagai sektor usaha terengah-engah, kalau tidak pingsan. Banyak kalangan menyebutkan penurunan nilai tukar rupiah pada beberapa hari terakhir agak kebablasan, relatif cukup besar bila dihitung on daily basis. Penyebabnya, selain faktor pelemahan mata uang Tiongkok (CNY), yang memang disengaja dilemahkan (didevaluasi) oleh otoritas moneter negeri itu—mengikuti jejak Jepang, juga faktor non-teknis yakni sentimen pasar terhadap kabar sekitar reshuffle kabinet Jokowi-JK yang dianggap kurang pro-pasar.. Namun, Indonesia tidak sendirian dalam ‘penderitaan’ ini. Jiran kita, Malaysia, misalnya, juga sedang dilanda gonjang-ganjing akibat krisis kepercayaan berkaitan dengan ‘dana tak bertuan’ senilai US$700 juta yang mampir ke rekening pribadi Datuk Najib, sang Perdana Menteri. Dalam beberapa pekan terakhir, miliaran dolar AS dana investor asing mengalir keluar dari negeri itu, dan ringgit pun terdepresiasi cukup dalam Currency wars Melemahnya nilai tukar ini sebenarnya merupakan kesempatan emas bagi saudara-saudara kita di berbagai daerah untuk memperoleh rupiah dalam jumlah lebih banyak dari volume ekspor (komoditas) yang sama.. Termasuk di dalam barisan ini adalah para petani cengkeh, kopra, panili, dan lain sebagainya. Juga para perajin di Bali, Jepara, dan banyak lagi sentra kerajinan di negeri ini, yang merasa seperti mendapat durian runtuh, karena hasil usaha keras mereka kini menghasilkan rupiah dalam jumlah lebih berlimpah. Mengapa demikian? Karena mereka nyaris tidak memiliki elemen impor dalam proses kegiatan bisnis para petani dan perajin tersebut. Kondisi demikian itu seharusnya menjadi pembelajaran bagi pengusaha nasional, karena kalau kegiatan produksi tergantung pada bahan impor sudah pasti rawan guncangan ketika terjadi fenomena currency wars seperti sekarang ini. Kondisi tersebut berbeda 180 derajat dibandingkan dengan subsektor usaha yang hidupnya mengandalkan unsur impor. Terlebih lagi jika diwarnai dengan offshore loan (utang luar negeri), tetapi menjual produknya di dalam negeri (dalam rupiah), tentu saja amat mudah memicumismatch yang berkemungkinan ‘menewaskan’ usaha itu sendiri. Fenomena yang nyaris berulang setiap periode tertentu itu seharusnya menjadi pembelajaran, khususnya bagi kaum entrepreneur di negeri ini. Selagi dunia usaha di negeri ini masih rajin mengekspor bahan mentah kemudian mengimpor kembali bahan setengah jadi/bahan penolong, maka ketika dolar AS menguat so pasti bisnis mereka jadi terhuyung-huyung. Kenapa tidak mengolah berbagai bahan tersebut di dalam negeri, baru kemudian mengekspornya, sehingga nilai tambah yang diraih akan meningkat berkali-kali lipat. Ini merupakan pengetahuan yang sudah diketahui oleh hampir semua kalangan usahawan, tapi tetap saja mereka enggan untuk menghilirkan industri—karena mungkin masih dihinggapi sikapogah repot. Soalnya, untuk investasi hingga ke hilir, memang dibutuhkan modal dan teknologi yang tidak sedikit. Contohnya adalah kebijakan pemerintah yang mewajibkan semua usaha tambang untuk membuat smelter di dalam negeri, sehingga berbagai jenis bijih (ore)—besi, tembaga, aluminium, bauksit, dan lain-lain—yang relatif tinggal mengeruk dari muka bumi itu memang lebih mudah kalau dijual mentah begitu saja. Bagi entrepreneur yang memiliki jiwa patriot, mereka mestinya tertantang untuk menghilirkan bisnis mereka, dan bila perlu hingga menjadikannya sebagai barang jadi (end product), sehingga negeri ini tidak sekadar menjadi pasar bagi aneka produk buatan bangsa lain. Kita membutuhkan cukup banyak patriopreneur untuk memperkecil ketergantungan kita terhadap produk impor yang semakin merongrong daya tahan bangsa Indonesia. Betapa tidak. Hampir setiap tahun, misalnya, negeri ini mengimpor 55 juta unit pesawat telepon seluler yang bernilai tidak kurang dari US$3 miliar. Ditambah tablet dan sebagainya, secara total tidak kurang dari US$6 miliar devisa yang kita ‘buang’ ke luar negeri. Itu baru untuk satu kelompok produk. Ingin tahu contoh yang lain? Ini dia. Ekspor otomotif Indonesia selama semester I 2015 memang memecahkan rekor, melampaui US$2,7 miliar, tapi hasil devisa netto-nya relatif kecil, karena masih banyak part atau bahan part yang harus didatangkan dari negeri principal, termasuk di antaranya pelat baja untuk bahan pembuatan body produk otomotif. Apa iya Indonesia tidak mampu memproduksinya, sehingga harus mendatangkan pelat baja dari luar? Seorang pemain kawakan di industri tersebut bercerita sebenarnya bisa membeli dari PT Krakatau Steel. “Tapi mana mau produsen mobil kita—yang kini secara mayoritas dikuasai kembali oleh prinsipal—membeli dari KS. Nippon Steel bisa meradang.” Kecuali, lanjutnya, ada bencana besar seperti tsunami yang sempat membikin padam reaktor nuklir Fukushima beberapa waktu lalu, sehingga mengganggu pasokan daya listrik ke Nippon Steel, barulah mereka 'terpaksa' membeli baja dari Krakatau Steel. Setelah Nippon Steel mendapat setrum kembali, tutur tokoh tersebut, “ya.. good bye lah Krakatau Steel.” Begitulah kalau bangsa ini tidak menjadi tuan di rumah sendiri, semua hal bisa didikte oleh sang tamu. Dalam kasus otomotif tadi, tampak begitu hebatnya peran prinsipal yang terikat dengan kredo Japan Inc., yakni saling menghidupi antar-entitas usaha dari Negeri Matahari terbit itu. Karena sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun, kita menganggap berbagai praktik yang tidak mendukung kemajuan sektor usaha di negeri ini sebagai hal yang sangat biasa pula, padahal seharusnya tidak. Sudah saatnya pula, di usia kemerdekaan bangsa ini yang menginjak angka ke-70, kita juga harus mampu menghidupkan konsep Indonesia Incorporated. Karena itu, dibutuhkan lebih banyak lagi patriopreneur alias entrepreneur yang memiliki sikap kebangsaan untuk mendukung kemandirian bangsanya di berbagai sektor usaha demi memajukan Republik Indonesia. Dirgahayu negeriku! http://koran.bisnis.com/read/20150814/270/462380/menanti-kebangkitan-patriopreneur
0 Comments
Leave a Reply. |
News Archives
August 2021
News CategoriesAll Ekonomi Entrepreneur Finance Hukum/Peraturan Human Resources Profile Inspirasi Technology Umkm Umum |