27/12/2015 0 Comments Kisah Keberhasilan dari Kamar 712![]() KOMPAS.com - Seperti biasa, Diana Christanti mengantar pelanggannya, Eli, menyusuri jalan-jalan Kota Bandung untuk urusan bisnis. "Iya, Bu Eli itu memang pelanggan saya," kata perempuan yang sehari-hari menjadi pengemudi taksi Blue Bird Bandung itu pada Selasa (22/12/2015). Rupanya, hari itu, Bu Eli punya urusan di Trans Studio, kawasan Terusan Buah Batu, masih di Kota Bandung. "Eh ternyata di situ saya diperkenalkan sama Meriam Bellina. Iya, Meriam Bellina yang artis!" seru Diana yang mengaku terkejut dengan kesempatan itu. Singkat kata, Diana tahu bahwa Meriam, bintang film peraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 1984 sebagai Pemeran Utama Wanita terbaik dalam film Cinta di Balik Noda itu tengah kerepotan mencari perias wajah. Menurut Diana, Meriam seperti kebingungan. "Saya ingat, dia menginap di kamar 712 di Trans Studio," kata Diana lagi.
Jadilah, dengan percaya dirinya, Diana menawarkan diri. Meriam Bellina pun akhirnya setuju. UJung-ujungnya, talentanya dalam merias wajah pun ketahuan. Keberhasilan pun berawal dari Kamar 712 tersebut. "Padahal, waktu itu, saya masih pakai seragam Blue Bird," tuturnya mengenang kejadian delapan bulan silam. Move on Diana, terkesan sebagai sosok yang percaya diri dan ramah itu, memang tengah membagikan pengalamannya kepada para istri pengemudi taksi Blue Bird yang tergabung dalam Kartini Blue Bird. Siang itu, bertepatan dengan Hari Ibu yang diperingati di Indonesia setiap 22 Desember, para anggota Kartini Blue Bird berkumpul bersama di lantai 5, Kantor Pusat Blue Bird, Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. "Kami ingin menjadi wadah bagi perempuan Indonesia, khususnya istri pengemudi Blue Bird untuk belajar berwirausaha," kata Koordinator Program Blue Bird Peduli Noni Purnomo dalam kesempatan itu. Lebih lanjut, Diana, ibu tiga anak lelaki itu bercerita ihwal manis-pahitnya membangun kembali perekonomian keluarga yang luluh lantak. Perempuan berambut pendek itu, bersama suami dan anak-anak pernah mengalami masa jaya secara finansial. Tapi, sejak dua tahun silam, segalanya sirna. "Saya sampai menjual barang-barang yang saya punya," kenang perempuan kelahiran Bandung pada 21 Januari 1969 itu. Diana berkisah, suaminya, Dani, terbilang sukses berbisnis di bidang periklanan dan properti. Keberhasilan itu membuahkan hasil berupa rumah tinggal yang terbilang mewah di kawasan Batununggal, Bandung. Namun, kegagalan di bisnis baru sang suami, batubara, membuat kehidupan berbalik ke titik nol. "Sekarang kami mengontrak rumah kecil di Jalan Kawaluyaan," katanya. Diana mengakui tatkala berada di titik nadir itu, dirinya hanya berpikir tentang masa depan anak-anak. "Saya berpikir, besok mereka harus makan apa ya," tuturnya terlihat menitikkan air mata. Masih merasa beruntung, Diana ingat nasihat ibunya, seorang perempuan berdarah Bali dan Tionghoa. "Mamah mengajarkan saya untuk tidak menangis. Harus move on. Kalau nangis kan enggak dapat apa-apa yah," ujar perempuan dengan logat Sunda yang kental itu. Merias pengantin Sadar bahwa dirinya harus bangkit, Diana, sarjana Bahasa Inggris dari Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) yang berkampus di Jalan Cihampelas, Kota Bandung itu, memberanikan diri melamar menjadi pengemudi taksi Blue Bird. Diterima bekerja di perusahaan itu tak membuat Diana berpangku tangan untuk ikut mengembangkan talentanya di bidang merias pengantin. Sejatinya, kepiawaian merias pengantin memang sudah digapai Diana saat dirinya dan keluarganya masih berada dalam kehidupan mapan. Kala itu, Diana biasa mengerjakan proyek merias pengantin komplet. Tarif proyeknya pun terbilang wah. "Biasanya antara Rp 5 juta sampai Rp 25 juta," kenang perempuan yang doyan membaca itu. Lantaran harus setia pada jadwalnya bekerja, Diana mengaku harus betul-betul membagi waktu meladeni proyek merias pengantin yang terbilang sering itu. "Saya kan masuk mulai jam 03.00. Saya selalu tepat waktu," akunya sembari menambahkan rata-rata 18 jam per hari dia bekerja sebagai mengemudi taksi. "Alhamdullilah, selama ini bisa membagi waktu," kata Diana yang pernah disangka sebagai salesgirl produk rokok oleh pihak manajemen Blue Bird saat kali pertama mendaftar bekerja di perusahaan tersebut. Ihwal pendapatan dari pekerjaan sebagai pengemudi taksi, lanjut Diana, ada pengalaman baru yang dirasakannya sekarang. Dengan semangat bekerja yang tak mudah pupus, Diana selalu bisa membawa pulang ke rumah setiap harinya uang Rp 200.000. "Pendapatan saya usahakan selalu Rp 1 juta," imbuhnya. Namun, lain halnya pendapatan dari merias pengantin. "Sekarang,alhamdullilah, saya kadang dibayar Rp 300.000 untuk segala apa pun yang saya kerjain (dari merias pengantin). Tapi, saya syukuri betul," tuturnya. Bagi Diana, kemudian, pekerjaan sebagai pengemudi taksi adalah pekerjaan yang menuntut profesionalisme. Pengemudi taksi harus melayani penumpangnya dengan baik. Pengemudi taksi harus memahami jalan-jalan mana yang tidak macet sehingga penumpang bisa cepat tiba di tujuan. "Bagi saya, pekerjaan sebagai pengemudi taksi adalah pekerjaan profesional," ucapnya dengan mata berbinar. Alhasil, ada buah-buah manis yang dipetik Diana dari pengalaman hidupnya selama ini. Apalagi, tatkala menyadari bahwa ketiga anaknya kian hari kian bangga dengan pekerjaan sebagai pengemudi taksi. "Saya punya tiga anak yang membanggakan. Mereka sekarang bangga karena ibunya seorang pengemudi taksi," kata Diana sumringah. Editor: Josephus Primus http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/22/190159226/Kisah.Keberhasilan.dari.Kamar.712?page=1
0 Comments
Leave a Reply. |
News Archives
August 2021
News CategoriesAll Ekonomi Entrepreneur Finance Hukum/Peraturan Human Resources Profile Inspirasi Technology Umkm Umum |