30/12/2015 0 Comments Kemitraan Astra dan UMKM untuk Jaga Perekonomian Nasional Tumbuh Berkelanjutan![]() KOMPAS.com – Sebagai negara emerging market, Indonesia selalu dibayangi oleh volatilitas nilai tukar. Kondisi ini membuat perekonomian nasional cukup rentan jika sewaktu-waktu nilai tukar rupiah loyo. Langkah Federal Reserve yang terus menaikkan suku bunga acuannya bisa saja direspon oleh pemilik dana dengan melakukan konversi ke mata uang dollar AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah terpuruk hingga menyentuh kisaran Rp 14.700 per dollar AS. Kondisi ini sempat memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha dan pemerintah jika nilai tukar rupiah terus melemah hingga level Rp 15.000 per dollar AS. Di luar faktor sentiment eksternal, Indonesia juga menghadapi hal yang lebih fundamental terkait dengan pelemahan nilai tukar. Ya, besarnya impor bahan baku membuat permintaan dollar AS cukup besar, sehingga hal ini menekan performa nilai tukar rupiah.
Melemahnya rupiah tentu tidak diharapkan bagi banyak pelaku industri di Tanah Air, ketika sebagian besar bahan baku maupun produk manufaktur pendukung industri masih diimpor. Besarnya impor ini terlihat dari masih minusnya neraca berjalan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa impor masih lebih besar ketimbang ekspor. Salah satu negara yang selalu membuat Indonesia mencatatkan defisit perdagangan adalah Tiongkok. Pada bulan September 2015, nilai impor RI dari China mencapai 2,48 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspornya hanya 1,05 miliardollar AS. Dengan demikian, defisit neraca perdagangan RI-China pada September 2015 sebesar 1,43 miliar dollar AS. Secara kumulatif, Januari-September 2015, nilai impor RI dari China mencapai 21,49 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspornya hanya 9,92 miliar dollar AS. Dengan demikian, neraca perdagangan RI-China sepanjang Januari-September 2015 mencetak defisit sebesar 11,57 miliar dollar AS. Bahan-bahan yang banyak diimpor oleh Indonesia dari Tiongkok adalah 1. Mesin-mesin, 5,26 miliar dollar AS 2. Peralatan listrik, 4,60 miliar dollar AS 3. Besi dan baja, 1,40 miliar dollar AS 4. Benda-benda dari besi dan baja, 805 juta dollar AS 5. Bahan kimia organik, 765 juta dollar AS 6. Plastik dan barang dari plastik, 740 juta dollar AS 7. Pupuk, 479 juta dollar AS 8. Bahan kimia anorganik, 400 juta dollar AS 9. Filamen buatan, 394 juta dollar AS 10. Kapas, 385 juta dollar AS Jika melihat data di atas, ketergantungan mesin dan peralatan listrik dari Tiongkok masih cukup tinggi. Dalam jangka panjang, kondisi ini tentu akan memberatkan Indonesia. Tak hanya nilai tukar rupiah yang rentan. Namun juga industri-industri besar dalam negeri kurang terjamin keberlanjutannya. Demikian juga dengan serapan tenaga kerja tak bisa optimal. Berangkat dari kondisi yang saat ini terjadi, pemberdayaan industri manufaktur lokal menjadi cukup mendesak guna ikut menjaga stabilitas perekonomian Tanah Air dalam jangka panjang. Tentunya, pemberdayaan industri tersebut tak hanya terbatas pada pemberian insentif kepada industri berskala besar. Lebih dari itu, industri skala kecil dan menengah juga patut diperhatikan. Pemberdayaan dan Sustainability Tak cukup hanya berharap pada pemerintah untuk bisa melakukan pemberdayaan tersebut. Karena, peran pelaku usaha swasta justru punya andil yang jauh lebih besar dalam menentukan keberhasilan pemberdayaan industri skala kecil dan menengah nasional. Sebagaimana yang dilakukan oleh Grup Astra. Perusahaan ini sangat memahami betapa eksistensi industri lokal akan ikut menentukan keberlanjutan (sustainability) dari perusahaan maupun perekonomian nasional secara luas. Melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA), Astra coba melakukan pemberdayaan ekonomi dengan memberi perhatian kepada pelaku usaha local, utamanya yang bergerak di bidang manufaktur berskala kecil. Yayasan ini telah menjalin kemitraan dengan begitu banyak perusahaan melalui suntikan modal kepada pelaku usaha yang potensial. Di luar itu, anak usaha Astra Internasional yakni Astra Mitra Ventura juga turut memberikan dukungan permodalan kepada pelaku industri manufaktur skala kecil di Indonesia. Berbeda dengan YDBA, dukungan permodalan yang dilakukan oleh Astra Ventura lebih banyak bersifat komersial, meskipun tetap mengedepankan aspek pemberdayaan. Hingga saat ini tak kurang dari Rp 500 miliar modal yang telah disalurkan oleh Astra Ventura kepada pelaku usaha lokal dengan pola joint venture. Total tenaga kerja yang berhasil diserap oleh perusahaan-perusahaan yang mendapatkan modal dari Astra Ventura juga cukup besar, yakni tak kurang dari 6.000 karyawan. Menurut Head of Public Relation Officer Astra Internatonal Yulian Warman, benefit yang diperoleh tak hanya sebatas pada suntikan modal. Lebih dari itu, pelaku usaha yang menjadi mitra juga mendapatkan pendampingan usaha. “Ada banyak keuntungan yang didapatkan mitra Astra Ventura. Perusahaan yang bisa bermitra pun tak hanya yang menjadi pemasok Astra namun pelaku usaha di luar itu juga berkesempatan menjadi mitra,” ujarnya baru-baru ini. Astra menjadi sebuah contoh yang tepat bagaimana sebuah perusahaan nasional seharusnya menjalankan fungsinya. Tak hanya sekedar mencari keuntungan, namun juga bersama-sama ikut mengangkat pelaku usaha kecil berkembang bersama. Jika pola semacam ini dijalankan oleh seluruh perusahaan yang ada di Indonesia, akan sangat mungkin perekonomian nasional akan bergerak secara berkelanjutan ke depannya. Selain itu, mata uang rupiah juga lebih stabil karena Indonesia tak lagi tergantung oleh barang impor, utamanya untuk bahan baku. Pada akhirnya, industri sendiri lah yang akan menikmati benefit dari perekonomian nasional yang tumbuh berkelanjutan. Tak hanya pasokan bahan baku yang tersedia tersedia di dalam negeri, namun juga demand dari pasar nasional yang terus terjaga. Editor: Bambang Priyo Jatmiko http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/31/035659226/Kemitraan.Astra.dan.UMKM.untuk.Jaga.Perekonomian.Nasional.Tumbuh.Berkelanjutan?page=1
0 Comments
Leave a Reply. |
News Archives
August 2021
News CategoriesAll Ekonomi Entrepreneur Finance Hukum/Peraturan Human Resources Profile Inspirasi Technology Umkm Umum |