Ada beberapa orang yang yakin bahwa menjadi pebisnis merupakan ‘bawaan lahir’, tetapi banyak juga yang percaya bahwa menjadi pebisnis bisa dipelajari. Keduanya bisa sama-sama terjadi.
Dalam buku berjudul “7 in 1” Business Competition Strategy yang ditulis oleh Handito Hadi Joewono dikatakan, bila diamati dengan cermat, terdapat beberapa karakteristik orang yang mempunyai jiwa bisnis dan sukses berbisnis, yaitu: 1. Jeli menangkap peluang Pebisnis mampu melihat peluang dengan sudut pandang lebih besar dari masalah atau kesulitan yang mungkin muncul. Tidak heran kita sering mendengar cerita sukses pebisnis yang justru mendapat ide bisnis ketika ada kejadian yang kurang baik. Misalnya, ketika banyak orang sibuk dengan berita banjir, ada pebisnis yang menangkap peluang dan menawarkan perahu karet. 2. Pemimpi Pebisnis berhasil selalu punya mimpi besar yang tidak pernah terealisasi sepenuhnya. Kalaupun mimpinya hampir terealisasi, selalu saja muncul ‘mimpi baru’ yang jauh lebih besar. 3. ’Nyeleneh’ Pebisnis andal selalu berorientasi mencari dan menemukan sesuatu yang unik dan punya keistimewaan dibandingkan yang sudah ada. Tidak jarang akan muncul ide-ide yang terkesan ‘nyeleneh’ atau tidak normal, bahkan sering juga tercermin dari perilaku pebisnis yang juga ‘nyeleneh’. 4. Creative lover Terkait erat dengan perilaku ‘nyeleneh’ tadi, pebisnis andal akan memberi penghargaan tinggi pada kreativitas, baik yang muncul dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan bisnisnya. Bahkan kadang terbelenggu dengan banyaknya kreativitas. 5. Tidak puas diri Pebisnis seringkali dipuji dan sekaligus dikecam oleh lingkungannya karena ‘cerewet’. Selalu saja ada yang kurang, selalu saja ada yang salah, selalu saja ada yang ingin terus diperbaiki. Pokoknya tidak boleh statis, tidak boleh berpuas diri. 6. Tahan banting Pebisnis tulen teruji dan terbentuk kehebatannya justru ketika menghadapi masalah. Pebisnis dengan entrepreneurship tinggi akan selalu bisa mencari celah keluar dari permasalahan. Pebisnis selalu bisa bounce back, bahkan dari situasi yang sangat sulit. Pebisnis yang sejati akan bisa bangkit kembali setelah ‘jatuh’ bahkan meskipun sudah jatuh ‘tertimpa tangga’ pula. 7. Aggresive driver Pebisnis harus bisa menjadi penggerak bagi tim dan lingkungannya untuk terus maju. Tidak heran kita sering melihat ada pebisnis yang seolah ‘berjalan’ atau ‘berlari’ sendiri. Dorongan untuk terus maju akan merangsang yang bersangkutan untuk bergerak cepat, yang bisa saja berdampak lingkungannya ‘keteter’ dan seolah tertinggal. Nah, itu tadi beberapa karakteristik orang yang mempunyai jiwa bisnis dan sukses berbisnis. Semoga bermanfaat. (Intisari.grid.id/Birgitta Ajeng) Editor: Lusia Kus Anna Sumber: Intisari Online, http://lifestyle.kompas.com/read/2017/07/01/181000720/7.karateristik.orang.yang.berjiwa.bisnis?page=1
179 Comments
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Ada cerita unik dari pemilik resto Bumi Langit saat diberi tahu mengenai rencana Barack Obama akan mengunjungi tempatnya berjualan di Jalan Imogiri- Mangunan, Bantul, Yogyakarta, Kamis (29/6/2017) sekitar pukul 08.00 WIB.
Tak ada persiapan khusus, bahkan dia sempat mengira akan didatangi polisi untuk menangkapnya. "Saya gak persiapan apa-apa, bangun tidur. Saya kira mau nangkap saya karena jenggot kepanjangan he-he," ujar pemilik resto Bumi Langit,Iskandar Woworuntu Kamis (29/6/2017). Namun setelah dijelaskan, Iskandar baru mengetahui perihal rencana kedatangan presiden Amerika Serikat ke-44 tersebut. Tak ada persiapan khusus menyambut Obama dan rombongan.Iskandar menyediakan makanan yang biasa diolah resto tersebut. Warga keturunan Inggris yang menikah dengan Darmila Hayati ini mengaku makanan yang disediakan pun bervariasi mulai dari termurah Rp 20.000 sampai Rp 50.000 per porsi. "Total makanan yang harus dibayar rombongan Obama yang berjumlah 12 orang sekitar Rp 4 juta," katanya. Pun termasuk hidangan yang disediakan tak menyebutkan jumlah porsi, karena makanan seperti mi letek, sambel terong dan berbagai makanan lainnya disajikan tersebut untuk disantap secara prasmanan. Restoran ini mengklaim seluruh makanannya bebas dari bahan kimia. "Saya sengaja siapkan banyak, supaya semua bisa menikmati setelah selesai. Di sini juga ada empat truk personel yang siaga," katanya. Jika menengok dari laman http://www.bumilangit.org, lokasi seluas 3 hektar ini tak hanya menyediakan restoran, tetapi juga mengelola institut dan berbagai kegiatan lainnya yang berhubungan dengan alam. Bagaimana membangun alam secara positif. Di sini dapat melihat langsung bagaimana sistem dari bahan, dimasak dan dinikmati. Mereka juga memiliki sistem pengolahan limbah air, sistem pembuatan kompos, peternakan sapi hingga perkebunan tanaman organik. Hal yang menjadikan restoran ini patut dikunjungi adalah bahan-bahan organik yang digunakan. Warung Bumi Langit di Yogyakarta ini merupakan bagian dari Bumi Langit Institute, sebuah komunitas berbasis lokal yang memproduksi aneka panganan dan kerajinan lokal.(KOMPAS.COM/ARI PRASETYO) "Kami punya konsep makanan yang punya pertimbangan etika bagaimana menyiapkan makanan dengan benar dan masak sendiri tidak menggunakan bahan kimia. Konsep kami dihargai terutama oleh istrinya Obama dan adik Obama, Maya. Kami sudah dikenal saat mereka di Amerika. Jadi saat berkunjung ke Jogja mereka memutuskan berkunjung ke tempat kami. Niatnya edukasi daripada berjualan makanan," kata Iskandar. Saat berada di restoran, Obama tak canggung untuk berfoto dengan pelayan restoran dan pemilik restoran. Sebelum ke restoran Bumi Langit, rombongan Obama berkunjung ke Candi Prambanan dan Puncak Becici. PenulisKontributor Yogyakarta, Markus Yuwono EditorI Made Asdhiana sumber: http://travel.kompas.com/read/2017/06/30/094100627/ini.yang.membuat.obama.memilih.makan.di.bumi.langit by Eddy Dwinanto Iskandar - June 24, 2017
Sebagai negara tropis, Indonesia kaya tanaman buah eksotis. Salah satunya, carica Dieng (carica candamarcensis). Tanaman yang kerap disebut pepaya Dieng itu hanya ditemukan tumbuh dan berbuah dengan baik di dataran tinggi Dieng, pada ketinggian 1.750-2.200 meter di atas permukaan laut (dpl). Di negara lain, buah carica (baca: karika) yang berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan, itu diketahui hanya tumbuh di Cile dan Peru. Keunggulan itu dimanfaatkan oleh Trisila Juwantara, pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 1969. Dengan bendera CV Yuasafood Berkah Makmur, dia merintis bisnis olahan buah carica, 16 tahun silam. Nama merek produknya, Buavica. Kini, dari kantor merangkap pusat produksinya di Jl. Dieng KM 3,5, Desa Krasak, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Trisila sukses melambungkan berbagai hasil olahan carica Dieng ke berbagai supermarket di kota-kota besar Indonesia dengan produksi mencapai puluhan ton per bulan. Lulusan STM Pembangunan (Jurusan Teknologi Hasil Pertanian) itu ingat betul, kondisi saat awal memulai bisnis berbanding terbalik 180 derajat dibanding saat ini. Dulu, Trisila mengenang, tanaman carica dipandang sebelah mata. Bahkan, dianggap layaknya “hama” karena menutupi sinar matahari yang dibutuhkan tanaman kentang, salah satu tanaman primadona petani Dieng kala itu. Karena itu, harga carica sangat rendah. Padahal, carica mengandung vitamin A dan C yang tinggi serta kaya serat dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Trisila tergerak memberikan nilai tambah pada buah yang lebih enak dikonsumsi setelah diolah itu. Apalagi, penanaman carica bisa mengurangi potensi tanah longsor. Selain itu, carica juga mengurangi pencemaran sungai sebagai dampak penggunaan pestisida pada tanaman kentang. “Tes market kami juga menyatakan bahwa semua orang dari segala usia, semua gender, dengan berbagai latar belakang sosial budaya dan kultur masyarakat, menyukai hasil olahan buah carica, yakni cocktail carica,” papar mantan karyawan PT Dieng Jaya Wonosobo, pabrik pengalengan buah dan jamur merang yang merupakan anak usaha Grup Mantrust yang kini telah tutup itu. Trisila juga melihat, pasar internasional terbuka lebar karena tidak ada pesaing buah sejenis. Dari beberapa uji pasar yang dia lakukan, calon pembeli sangat menyukai rasa dan manfaat buah tropis dalam bentuk koktil carica. Setelah melalui uji coba produksi di SMKN 1 Temanggung, dia berhasil menemukan formula produksi carica yang tepat. Trisila kemudian memproduksi carica in syrup (koktil carica) dengan standar kualitas dan sertifikasi keamanan pangan berdasarkan risiko skala internasional, yakni HACCP. Belakangan produknya berkembang, antara lain koktil carica kemasan kaleng, botol kaca, plastik, tub, cup kemasan air mineral, serta sirup, selai, jus, keripik, hingga dodol carica. “Kami juga melakukan inovasi packagingdengan karton flut, duplek, plastik, isi 24, 12, 6, dan 8 per dus,” ujarnya. Buavica menyasar segmen menengah-atas, dari anak-anak sampai dewasa. Jalur distribusinya tentu saja disesuaikan, yakni melalui supermarket, pusat oleh-oleh, restoran, pengusaha katering, dan hotel. Berbagai kegiatan promosi pun digelar, di dalam dan luar negeri. Dari pameran dan ekshibisi hingga aneka forum business matching. Demi meraih segmen wisatawan, Yuasafood mendirikan pusat oleh-oleh di Dieng. Tak lupa, Trisila mendaftarkan carica Dieng sebagai produk unggulan daerah, one village one product (OVOP), yang diakui pemerintah tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat sebagai produk yang bagus dan berkualitas. Ia mendaftarkan produk carica sebagai produk spesifik (local wisdom) di Kementerian Hukum dan HAM RI bidang Indikasi Geografis sejak 2012. Berkat kegigihannya, produksi Yuasafood kini mampu tumbuh dari hanya 100 kg menjadi 45 ton buah segar per bulan, dengan 55 tenaga kerja. Namun, yang lebih menggembirakan, semangat kewirausahaan dan pertanian masyarakat dalam pengembangan carica tumbuh pesat. Jumlah UKM yang bergerak di bidang pertanian, produksi, dan penjualan carica melesat dari 13 menjadi lebih dari 150 yang tersebar di Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Temanggung, Kendal, Pekalongan, dan sekitarnya. Pemasaran Buavica pun sudah menembus Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat (Mataram), Lampung, Pekanbaru, dan saat ini mulai merambah Batam dan Kalimantan. “Kini kami juga sedang penjajakan untuk masuk pasar Timur Tengah, Asia, dan Eropa melalui kegiatan pameran tahunan pasar malam di Amsterdam; pameran terbesar di Eropa, SIAL Paris; dan Thaifex di Thailand,” ungkap Trisila. Dia bertekad terus berinovasi mengembangkan olahan carica, dari minuman pulpy sampai produk baru berbahan baku lokal lainnya dengan teknologi freeze dried. “Selain itu, kami juga menyiapkansecond layer bisnis selain bisnis utama dengan memproduksi keripik jamur, keripik buah, manisan cabe, manisan salak, dan lain-lain dari bahan lokal yang tersedia,” paparnya. Menurut Sumardy, konsultan pemasaran sekaligus CEO The Buzz n Co, kunci sukses bisnis manisan terletak pada diferensiasi produk. “Dia harus menemukan buah yang unik karena pasar telah dibanjiri berbagai manisan buah komoditas yang di mana pun sama saja,” tuturnya. Sumardy berharap Trisila terus berkembang. Caranya, dengan menjaga standar kualitas, meningkatkan skala produksi, serta terus berinovasi karena produknya mudah ditiru pesaing.(*) Reportase: Jeihan Kahfi Barlian/Riset: Armiadi Murdiansyah Sumber: https://swa.co.id/swa/profile/profile-entrepreneur/trisila-juwantara-mengubah-hama-menjadi-primadona Bisnis.com, BALI - Turis asing yang berlibur ke Bali umumnya menyukai menetap di penginapan berkonsep rumah atau homestay selama beberapa hari.
Gusti Ngurah Agus Adi Putra, pemilik dari Yuliati House, mengatakan homestay merupakan rumah masyarakat di Bali yang bisa disewa oleh wisatawan asing dengan tujuan bisa mengenal adat istiadat setempat. Biasanya, menurutnya, wisatawan yang ramai berkunjung ke Bali saat peak season yakni bulan Juli hingga Agustus. "Karena summer bulan Juli-Agustus, Amerika dan Eropa kan mereka liburan panjang. Kebanyakan Eropa, Jepang, sekarang mulai China," ujarnya kepada Tim Liputan Lebaran Jawa Bali, Senin (26/6/2017) malam. Rerata para wisatawan asing yang menginap di homestay ini selama 3 hari hingga 4 hari dan bahkan ada yang mencapai 10-15 hari. Untuk wisatawan domestik sendiri datang berkunjung ke Bali pada liburan akhir tahun yakni dari pertengahan Desember hingga Januari. "Kalau turis asing kebanyakan mereka long stay dibandingkan turis domestik," kata Ngurah. Yuliati House bisa menjadi lokasi menginap yang menyenangkan baik bagi turis asing maupun domestik. Homestay Yuliati House terletak di Jalan sukma nomer 10 Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Tim peliput: Agne Yasa, David Eka Issetiabudi, Feri kristianto, Yanita Petriella. Tag : homestay Sumber: http://industri.bisnis.com/read/20170627/12/666407/turis-asing-lebih-suka-menginap-di-homestay TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Tetap Makanan Tradisional Kadin Indonesia Chris Hardijaya menilai fenomena kue oleh-oleh yang dijual sejumlah selebritas Tanah Air dianggap sebagai pemanis bisnis tersebut.
"Tidak apa, ibaratnya itu mereka (selebritas) sebagai cheerleader (pemandu sorak) saja di bisnis ini, ramai tapi kan sepanjang pertandingan tidak akan terus ramai, jadi sebagai pemanis dan bagus," ucap Chris seperti dikutip Antara, Rabu, 14 Juni 2017. Belakangan, marak selebritas membuka bisnis kue oleh-oleh kekinian seperti Bandung Makuta oleh Laudya Cynthia Bella, Jogja Scrummy oleh Dude Herlino, Medan Napoleon milik Irwansyah, Bosang Makassar milik Ricky Harun, Surabaya Snowcake milik Zaskia Sungkar dan banyak lainnya. Kendati menggunakan nama daerah, karakteristik kue yang dijual memiliki kemiripan dari bahan baku, tekstur hingga varian rasa. Chris menilai fenomena selebritas berjualan kue oleh-oleh sebagai tren sesaat untuk guna mendukung citra para artis di dunia hiburan. Namun, diakuinya tren tersebut sebagai inovasi baru, bukan persaingan terhadap bisnis kue tradisional. Pasalnya, kue tradisional biasanya berbahan baku gula, santan, tepung beras dan kelapa, bukan tepung seperti yang kebanyakan dijual selebritas. "Itu bukan persaingan, tapi inovasi yang bersifat baru. Produknya memang nomor dua, karena nama merekalah yang dijual," ujarnya. Chris menuturkan, karena sifatnya yang sesaat, ia ragu bisnis kue oleh-oleh selebritas akan bertahan lama. Hal itu merujuk pada bisnis serupa di masa lalu. "Artis itu dasarnya bukan di bisnis kue, bentar-bentar juga hilang. Kalau artisnya meredup, brand kuenya juga hilang, biasanya begitu," tuturnya. Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/06/14/089884540/kue-oleh-oleh-selebritas-dianggap-tren-sesaat by Sudarmadi - April 16, 2017
Profesional yang biasa mengadakan rapat di mal-mal premium Jakarta rasanya tak akan asing dengan jaringan restoran seperti Bakerzin, Sushi Tei, Pepper Lunch, Master Wok, Paradise Inn, Onokabe, Paradise Dynasty, Kintan Buffet atau Shaburi. Merek-merek resto tersebut memang cukup populer di kalangan kelas menengah Jakarta, bahkan sudah masuk ke sejumlah kota besar lain di Indonesia. Deretan resto tersebut tak lain dihadirkan oleh Grup Boga, pemain bisnis resto yang memulai penetrasi tahun 2002. Membuka gerai pertama pada tahun itu, saat ini Grup Boga telah mengelola delapan merek resto dengan total 136 gerai di 12 kota di Indonesia. Diam-diam grup ini telah melibatkan tak kurang dari 3.000 karyawan dalam bisnisnya. Perusahaan ini punya keunikan tersendiri dalam menggarap pasar karena lebih suka menggunakan konsep multimerek dalam menembak pasar. Jangan heran, dari resto masakan Jepang, China hingga campuran semua tersedia di Grup Boga. Melesatnya Grup Boga tak lepas dari racikan manjur Kusnadi Rahardja selaku pendiri jaringan resto itu yang sekaligus menjabat presdirnya. “Saya baru resmi mulai berwirausaha sendiri tahun 2002, setelah saya mendapat kepercayaan untuk membuka Bakerzin di Indonesia. Namun sebelumnya, saat saya masih bekerja, saya juga sudah sempat merintis bisnis kafe bersama beberapa teman,” Kusnadi mengisahkan awal bisnisnya. Kusnadi termasuk wirausaha terdidik. Ia bukan pebisnis yang hanya bermodal berani. Ia menyelesaikan program MBA di Carnegie Mellon University di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, tahun 1995. Kemudian, punya pengalaman kerja selama hampir delapan tahun di perusahaan top, seperti Johnson & Johnson dan PT Anugerah Pharmindo Lestari, dengan jabatan terakhir sebagai wakil direktur. Awal tahun 2000 Kusnadi melihat ceruk terbuka di bisnis resto. Saat itu, industri resto di Indonesia umumnya masih dikelola dalam format usaha keluarga dan hanya punya satu merek dan satu gerai. Di sisi lain, ketika masih di AS, ia melihat industri resto di sana bisa dikelola secara profesional dengan melibatkan banyak merek dan ratusan gerai. “Kenyataan itulah yang membuka wawasan saya, bahwa apabila dikelola secara profesional, bidang usaha restoran bisa menjadi sebuah perusahaan besar,” ungkapnya. Kusnadi ingin menghadirkan konsep bersantap baru yang belum ada di negeri ini. Langkah pertama, ia memilih membawa Bakerzin ke Indonesia karena saat itu ia melihat konsep dessert bar belum ada. “Awalnya, susah sekali membawa Bakerzin ke sini. Saya butuh waktu hampir setahun, mulai dari ketemu pertama kali lalu dibawa ke sini untuk diperlihatkan ini lho tempatnya, ini lho pasarnya. Sampai akhirnya mereka setuju karena memang sudah yakin di sini memang berpotensi dan itu terbukti kan sampai sekarang kami sudah berkembang,” papar Kusnadi seraya menambahkan, gerai pertama Bakerzin di Cilandak Town Square. Beberapa bulan setelah Bakerzin, ia membawa Sushi Tei. “Boga Group berkembang dengan prinsip bahwa kami selalu sebagai trend setter ataupun leader, jadi kami bukan follower. Mulai dari konsep dessert bar yang pertama itu dari kami, yaitu Bakerzin, lalu sushi dengan conveyor belt yang pertama ada di Sushi Tei. Kami memiliki keunikan sendiri yang akhirnya menjadi pionir,” Kusnadi menjelaskan kiat bisnisnya. Sebagian besar merek resto yang dikembangkan Grup Boga merupakan merek multinasional yang dimiliki prinsipalnya. Ada pula merek resto yang dikembangkan sendiri karena melihat celah pasar yang ada. Contohnya, resto Master Wok. “Saya melihat waktu itu ada kekosongan di segmen food court untuk Chinese food. Belum ada yang serius menggarap. Dari sanalah muncul ide membuat Chinese food cepat saji itu, tahun 2013. Lalu, kami buka Master Wok di Kelapa Gading, Senayan City, Lotte Shoping Avenue, Karawaci, dan seterusnya,” Kusnadi menjelaskan. Salah satu kiatnya dalam membesarkan resto dengan beragam merek tersebut, masing-masing mesti punya keunikan di pasar. Ia mencontohkan Bakerzin sebagai kafe resto pertama yang menjadikan dessert sebagai menu unggulan; Pepper Lunch sebagai resto do-it-yourself Japanese steak house pertama; Master Wok, pelopor konsep scoop-it-yourself; hingga merek terbaru Grup Boga, Onokabe, yang memelopori konsep all-you-can-eat suki & grill yang digabung dengan berbagai fasilitas untuk memanjakan pelanggan. Diakuinya, hal terpenting di dalam bisnisnya, selain soal ketepatan dalam menelurkan konsep resto yang unik, juga dalam mencari prinsipal atau partner yang tepat. Untuk itu, dalam bermitra, pihaknya selalu mengedepankan kerja sama jangka panjang. “Yang membedakan, kami membentuk ikatan kuat ke prinsipal maupun dengan partner kami di setiap daerah,” ungkap Kusnadi. Dari segi pendanaan, selain berkembang dari laba ditahan yang diinvestasikan, grup ini juga berkembang melalui pola kemitraan dengan mitra di daerah. Tak mengherankan, dalam mengembangkan gerai ke daerah, Kusnadi sangat menghormati pandangan mitra lokalnya. “Kami menjunjung tinggi kearifan lokal, dan memberikan kebebasan kepada partner kami di luar kota untuk mengembangkan menu lokal, yang penting selaras dengan DNA brand resto tersebut,” ia menjelaskan. Tentu saja, kualitas makanan menjadi perhatian utamanya. Ia menandaskan, grupnya merupakan perusahaan resto pertama di Indonesia yang sejak 2007 sudah tersertifikasi keamanan pangannya melalui sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk Bakerzin dan Pepper Lunch. Pihaknya juga terus mengembangkan berbagai jenis makanan melalui proses riset internal karena Grup Boga memiliki Creative Culinary, central kitchen yang salah satu tujuannya untuk memastikan semua produk di setiap greai, baik di Jakarta maupun di luar kota, memiliki kualitas yang terbaik dan konsisten. Selain untuk mendukung kebutuhan internal, Creative Culinary juga memproduksi beragam jenis makanan dan kue untuk kafe/resto di luar Grup. Sudah tentu, komunikasi pemasaran dan branding menjadi pilar utama yang dijalankan agar resto-restonya eksis di tengah persaingan bisnis resto yang makin ketat sekarang. “Kami memaksimalkan komunikasi di hampir semua channel yang tersedia. Antara lain, melalui media offline/event, online, social media, bermitra dengan pihak ketiga seperti bank dan deal site, serta customer relationship management, yaitu e-mail blast dan Boga loyalty membership card,” lanjut Kusnadi. Bisa jadi banyak yang tak menduga, salah satu isu penting dalam mengelola lebih dari 100 resto multimerek adalah tentang mengelola SDM. Maklum, resto yang dimiliki tidak seragam, punya konsep yang berbeda-beda. Untuk itu, Kusnadi menerapkan prinsip delegasi dengan baik kepada para general manager (GM) dan manajer di jaringan restonya. “Kami memberikan kepercayaan penuh dan (menerapkan) sistem level of authority agar seluruh jajaran manajerial brand tersebut dapat mengembangkan jiwa dan kreativitas, serta memenuhi harapan pelanggan merek yang menjadi tanggung jawabnya,” tuturnya. Ia yakin dengan sistem level of authority yang dijalankan, jajaran manajemen pasti mampu mengatasi berbagai persoalan di lapangan. Di Grup Boga, semua GM diposisikan sebagai pemimpin dari sebuah strategic business unit dan diberi otoritas. “Karena itu, sebelum memberikan tanggung jawab kepada seorang GM untuk mengelola merek tertentu, kami selalu memastikan bahwa orang tersebut memang mempunyai karakteristik yang sesuai dan pemahaman yang mendalam terhadap jiwa dan semangat dari brand yang menjadi tanggung jawabnya. Dibantu prinsipal kami, para GM harus menerjemahkan ciri khas merek tersebut yang menjadi harapan pelanggan dan berinovasi,” Kusnadi memaparkan. Kusnadi bersyukur bisnis restonya bisa berkembang dengan baik meski kondisi ekonomi makro masih kurang menguntungkan dalam beberapa tahun terakhir. Grup Boga tetap selalu tumbuh di atas 15% per tahun. Banyak pennghargaan yang sudah diterima oleh resto-restonya dari dunia kuliner Indonesia ataupun level Asia. Hanya saja, ia akui, merek-merek resto yang dikelola punya kemampuan tumbuh yang berbeda. Walaupun manajemen memberikan kesempatan kepada semua merek untuk tumbuh, tetap saja ada beberapa yang lebih menonjol dan tumbuh lebih cepat. Kini, salah satu yang menimbulkan kepuasan tersendiri baginya, usahanya sudah menjadi penghidupan bagi lebih dari 3.000 karyawan. Yang pasti, ia akan terus menghela bisnisnya agar senantiasa tumbuh. Semua merek akan dipacu untuk membuka cabang baru. Dan, ia akan menghadirkan merek-merek resto baru di Indonesia. Contohnya, tahun 2015 Grup Boga mendapatkan lisensi untuk merek resto Shaburi, sedangkan pada 2016 mendapatkan lisensi merek resto Kintan Buffet. Kusnadi optimistis bisnis resto masih akan sangat menjanjikan karena saat ini masyarakat Indonesia melihat makan di resto sebagai gaya hidup dan hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Jangan heran, di Medan, Grup Boga memiliki tiga gerai Sushi Tei yang semuanya eksis.(*) Editor : Tiffany Diahnisa Journalist : Teguh Sri Pambudi Sumber: https://swa.co.id/swa/profile/profile-entrepreneur/grup-boga-raja-resto-yang-kian-berkibar KOMPAS.com - Menyaksikan tayangan Earth 2050 yang diputar oleh saluran televisi BBC membuat saya senyum-senyum.
Bukannya apa-apa, ketika para scientist di berbagai belahan dunia tengah membawa “hari esok” (The Future) ke hari ini, kita banyak menemukan pemimpin, politisi, birokrat, bahkan juga pengusaha dan eksekutif yang masih membawa logika “masa lalu” (The Past) ke dalam pijakan hari ini. Tengok saja aturan-aturan yang berbelit-belit, cara pandang mereka dalam memberantas korupsi, penanganan UMKM, kampanye-kampanye politik yang mereka lakukan, kata-kata yang mereka ucapkan dalam berbagai spanduk dan video yang kita saksikan dalam kanal Youtube, cara penanganan banjir, metode-metode dalam pertanian, sampai ekspor-impor dan kebijakan di sektor keuangan. Ketika anak-anak muda sudah berbicara start-up, mereka masih menyatakannya sebagai UMKM. Kita praktis hanya berkutat hari ini untuk hari ini. Bahkan terbelenggu oleh kebiasaan dan cara pandang kemarin untuk solusi hari ini. Dunia Sudah Berubah Melalui tayangan Earth 2050 tadi saya mulai paham apa yang tengah dikerjakan para ilmuwan di seluruh dunia. Ketika mereka sudah memasuki dunia dengan penilaian “impact” (apa yang telah kamu hasilkan dan berdampak pada kehidupan), ilmuwan-ilmuwan kampus kita baru saja belajar menulis karya ilmiah agar dimuat dalam jurnal internasional dan di sitasi via Scopus. Teman-teman PhD saya yang bergelut dalam aneka riset di Jepang, Inggris, Rusia dan Amerika Serikat hanya bisa tersenyum saja ketika ditanyakan karya ilmiahnya. Mereka lebih senang menunjukkan hak paten karyanya ketimbang paper yang dulu dibanggakan oleh profesor kami pada tahun 1990-an. Seorang ilmuwan menunjukkan karyanya berupa “apartemen” kebun holtikultura sayuran di tengah-tengah kota New York. Sepintas saya melihat kebun-kebunnya tidak layak. Maklum itu berada di tengah-tengah lokasi area industri. Namun begitu saya memasuki bangunan serupa gudang pabrik di tengah-tengah kota itu, saya menyaksikan sebuah perkebunan sayuran yang berlapis-lapis ke atas, membentuk rak-rak yang sangat efisien. Di dalam setiap rak terdapat ribuan tanaman dari satu jenis sayuran yang tumbuh subur. Tak ada hama pengganggu. Namun ada sinar UV aneka warna, aliran air, dan sejumlah perangkat IT. Bayangkan, ketika petani kita masih bergulat di daerah pegunungan dengan akses yang rumit dan ongkos angkut yang mahal yang membuat mereka miskin turun-temurun, petani-petani terdidik baru muncul di tengah-tengah kota. Mereka melakukan disruption pangan besar-besaran. Itulah smart vertical agriculture. Di tempat yang lain saya bertemu para ahli IT yang tengah bekerjasama dengan lembaga kepolisian untuk memetakan kejahatan-kejahatan yang akan terjadi di masa depan. Mereka bahkan sudah memiliki data sampai ke tanggal, hari, jam dan lokasi kejadian. Segala veriabel, mulai dari cuaca, pendapatan per kapita, lapangan pekerjaan, sampai nafsu libido manusia, mereka masukkan ke dalam big data yang diolah untuk memprediksi kejahatan. “Yang paling penting bukan kapan akan terjadi dan berapa besar kerusakannya, melainkan bagaimana kami mencegahnya,” ujar teman kuliah saya dulu, yang kini menjadi guru besar di Amerika Serikat. Kini, saya ingin mengajak Anda melihat apa yang dilakukan oleh para eksekutif dalam dunia bisnis. Ini menjadi menarik karena atas undangan sebuah bank besar yang memiliki kantor pengendali di Singapura, kemarin saya menghadiri seminar tentang disruption di negara kota itu yang diikuti para eksekutif Asia. Beberapa kali saya melihat asisten-asisten saya menggeleng-gelengkan kepala. ”Gila, mereka sudah sejauh itu meng-eksplore dunia dan membuat hal-hal baru!” Dalam presentasi-presentasi itu kami melihat dan mendengarkan hal-hal baru yang sedang dikerjakan dalam industri transportasi, konstruksi, pendidikan, industri, bahkan juga mainan anak-anak, logistik, trade, sampai ke retail dan pangan. Semua itu adalah disruption yang mengubah sejarah dan persaingan usaha yang kita hadapi hari ini. Mereka menyebut nama-nama kota di Indonesia, mulai dari Surabaya, Balikpapan, Manado, Ambon, sampai ke Sorong. Kota-kota yang bahkan belum banyak dikunjungi para sarjana dan mahasiswa kita, ternyata telah dijadikan pasar oleh mereka. Lantas apa yang dilakukan eksekutif-eksekutif, aparatur-aparatur sipil negara dan pemangku-pemangku kepentingan di negeri kita? The Past – The Present – The Future Vijay Govindarajan, ilmuwan asal India mengingatkan saya bahwa dalam menjalankan kehidupan, manusia memiliki 3 sudut pandang yang beragam : The Past, The Present dan The Future. Kami pun merumuskan sebuah pelatihan yang kami sebut sebagai "Reformulasi Strategi dalam era Disruption". Dan minggu-minggu ini area kerja saya di Rumah Perubahan tengah ramai dikunjungi para eksekutif yang sedang membongkar strateginya. Apakah itu untuk menyusun rencana strategis (renstra) atau sekadar meremajakan RKAP. Dan begitu kami buka, banyak eksekutif dan CEO yang tiba-tiba menyadari hampir 100 persen karya yang sedang mereka kerjakan sudah benar-bemar ketinggalan zaman. Mereka meyakini telah menjalankan strategi yang hanya cocok dijalankan di masa lalu. Dan itu pasti akan menjadikan mereka sebagai korban dari bencana disruption. “It was over,” ujar seorang putera mahkota dari sebuah usaha konglomerasi. “Itu hanya cocok di zaman papa,” ujarnya berterus terang di hadapan ayahnya sambil tertawa, yang juga hadir dalam ruangan itu. Vijay mengingatkan saya tentang tiga dewa yang dikenal dalam keyakinan yang dianutnya di India. Dewa Wisnu, Shiwa dan Brahma. Ini mengingatkan saya pada sebuah upacara di Puri Ubud, tempat kerabat kami tinggal dan biasa saya kunjungi. Biasanya, saya ditemani oleh keluarga Bali lainnya yang lalu menjadi tempat upacara pernikahan kami di sebuah desa di Sibangkaja, dekat Desa Mambal. Jadi yang satu adalah keluarga raja (Puri Ubud) dan ratunya adalah Keluarga Pendoa (Griya Anyar – Sibangkaja). Dalam kepercayaan Hindu itu, Wisnu dikenal sebagai dewa pemelihara. Shiwa adalah dewa perusak, sedangkan Brahma adalah Sang Pencipta. Vijay mengungkapkan corporate strategi sebagai gabungan dari ketiganya. “Seperti Dewa Shiwa, eksekutif jangan takut menghancurkan segala hal yang hanya relevan di masa lalu,” ujarnya. Maksudnya, secara selektif kita perlu menghancurkan metode, alat, teknologi, pendekatan, bahkan tata nilai yang sudah tidak membuat kita produktif lagi.” “Lalu seperti prinsip Dewa Wisnu, kita wajib merawat yang masih relevan, the existing core. Dan seperti prinsip Dewa Brahma, perusahaan juga harus punya orang-orang berkualitas yang menciptakan masa depan baru,” tambahnya. Masalahnya, masa depan baru itu tak bisa dihasilkan sebelum kita benar-benar bisa membaca hal-hal baru itu dengan secara selektif membuang hal-hal yang sudah tidak relevan lagi. Kedua, eksekutif biasanya sudah terbelenggu dalam zona nyaman dengan hanya berani menjalankan hal-hal yang sudah ia kenal di masa lalu. Keluar dari zona nyaman itu butuh keberanian. Mengapa eksekutif senang menjalankan kebiasaan dalam zona nyaman? Jawabnya adalah karena hanya itulah yang ia kenal secara familiar. Sedangkan menapaki masa depan baru, sungguh tidak nyaman karena serba tidak pasti, tidak jelas, dan belum terbentuk. It’s unclear, unsettle and uncertain! Padahal bagi pesaing-pesaing baru Anda, segala hal yang harusnya berada di hari esok, telah dibawa ke hari ini. Dan dengan gagah berani mereka menjelajahi ketidakpastian yang tidak clear itu. Dan strategi baru di era disruption adalah bertarung di era itu, tetapi tidak di hari esok. Memangnya Anda sudah siap? RHENALD KASALI Kompas.com - 24/03/2017, 05:30 WIB Editor: Bambang Priyo Jatmiko Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/03/24/053000826/efek.disrupsi.besok.menjadi.hari.ini AMSTERDAM, KOMPAS.com - Burger selama ini sudah dikenal di seluruh dunia sebagai jajanan murah dan mengenyangkan.
Namun, seorang koki di sebuah rumah makan di Den Haag, Belanda, Diego Buik menciptakan sebuah burger mahal dengan harga mencapai 1.785 poundsterling atau sekitar Rp 30,6 juta. Dengan harga yang membelalakkan mata ini maka burger karya Diego Buik itu dipastikan masuk rekor dunia Guinness. Burger mahal itu berisi daging kering wagyu asal Jepang dan daging sapi Angus Black, lobster Oosterschelde yang mengandung ginBelanda, foie gras, jamur truffle putih, keju Remeker, serta kaviar, dan tomat Jepang. Tak hanya itu, selada Perancis, daging babi Iberia, saus khusus yang dibuat dari campuran lobster, kopi Jamaican Blue Mountain, vanila Madagaskar, kunyit, dan kedelai Jepang. Semua campuran itu dimasukkan ke dalam roti yang dibuat dari kunyit yang dilapisi daun emas. Diego, yang asli Belanda, sangat menggemari burger selama dua tahun bekerja di SoHo House, London. Tak lama setelah kembali ke Rotterdam, Diego mulai menciptakanburger sendiri dan pada 2015 dia meraih penghargaan untuk burgerterbaik di kota itu. Namun, kepada Vice.com, Diego mengakui burger mahal karyanya ini bukanlah burger terenak yang pernah dia rasakan. "Saya membeli beef burger di London berisi daging babi kering, saus , tomat, bawang merah, dan keju. Rasanya sangat enak dan harganya cuma 14 poundsterling," ujar Diego. Satu hal lagi, burger mahal ini tak ada dalam daftar menu di restoran Diego. Sehingga pelanggan harus memesannya terlebih dahulu. "Saya butuh waktu untuk membuatnya," ujar sang juru masak. Editor: Ervan Hardoko Sumber: Mirror, Sumber: http://internasional.kompas.com/read/2017/06/07/18582231/dengan.harga.rp.30.6.juta.seporsi.inikah.burger.termahal. JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah menjadi kebiasaan kaum muslim di Indonesia saat bulan suci Ramadhan datang, gemar mengkonsumsi kudapan yang menyegarkan dan serba manis. Tak pelak hal ini menjadi peluang bagi pelaku usaha musiman yang ingin mencicipi manisnya berbisnis di bulan yang penuh berkah.
Salah satu kuliner yang sering dijumpai saat bulan puasa adalah sop buah, minuman yang terdiri dari berbagai buah tropis dipadu dengan air gula, susu, dan es batu. Sop buah menjadi panganan yang laris manis di kala Ramadhan datang. Rizal Mahmudi (34) pedagang sop buah di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan mengatakan, sop buah menjadi makanan yang paling dicari konsumen saat puasa. " Sop buah memang laris kalau puasa, soalnya bisa buat buka puasa, isinya macam-macam buah, ada melon, blewah, buah naga, apel, anggur, kelapa, pisang, pear, sama jeruk peras," ujarnya kepada Kompas.com di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, Minggu (6/5/2017). Rizal menambahkan, untuk satu porsi sop buah dirinya menjual dengan harga Rp 12.000, dan saat bulan puasa dirinya rata-rata mampu menjual 100 sampai 200 porsi per hari. Untuk memenuhi kebutuhan buah sebagai bahan baku sop buah, Rizal mengaku membeli berbagai buah tropis di pasar Induk Kramat Jati dan pasar tradisional lainnya. "Biasanya per hari bisa 100 sampai 200 porsi kalau lagi ramai, ramainya saat libur atau akhir pekan, lumayan keuntungannya bisa buat mudik ke kampung halaman saya di Cirebon," ungkapnya. Untuk belanja kebutuhan mulai dari buah, susu, plastik, es batu hingga gula pasir, Rizal membutuhkan modal belanja Rp 1.000.000 per tiga hari. "Belanjanya tiga hari sekali, kalau untuk es batu setiap hari, kalau buah dan lain-lain tiga harian, kira-kira Rp 1.000.000 sekali belanja, harapannya sampai lebaran harga jangan pada naik," jelasnya. Hamzah (32) salah satu pedagang sop buah di Pamulang, Tangerang Selatan mengatakan, bisnis sop buah saat bulan puasa memang menggiurkan, namun demikian persaingan antar pedagang makanan dan minuman kian ketat. " Sop buah Alhamdulillah berkah pokoknya, tapi sekarang saingan juga banyak, ibu-ibu juga jualan menu takjil dadakan, ada kolak, es kelapa, es campur, cendol," jelasnya. Namun hal tersebut tak menjadikan semangat Hamzah untuk berjualansop buah saat bulan puasa surut. "Saya tetap jualan, kita cari tempat di pinggir jalan yang aksesnya sama lahan (parkir) enak buat pembeli berhenti, dan jangan terlalu dekat sama pedagang lain," ujar Hamzah. Menurutnya, dengan berbagai faktor tersebut, keuntungan dapat terdorong naik dan menciptakan persaingan yang sehat. "Sehari bisa jual 100-150 porsi dengan harga Rp 10.000, dan biaya modal 30-40 persen dari keuntungan tergantung harga kebutuhan di (pasar) Induk," jelasnya Penulis: Pramdia Arhando Julianto Editor: M Fajar Marta Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/06/05/043000826/manisnya.bisnis.sop.buah.saat.bulan.ramadhan JAKARTA, KOMPAS.com - Perbincangan mengenai perkembangan teknologi seperti tak akan ada habisnya, transisi gaya hidup masyarakat, suka tidak suka juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan internet.
Peralihan gaya hidup masyarakat juga berimbas pada perputaran roda-roda ekonomi yang kiblatnya semakin menuju digitalisasi ekonomi. Di tengah masifnya perkembangan teknologi, internet saat ini telah menjadi kebutuhan, pada beberapa tahun belakangan ini mungkin tak pernah terlintas dalam benak setiap orang bahwa, internet bisa menjangkau segala kebutuhan derajad hidup manusia. Fenomena ojek dan taksi online di Indonesia terutama di kota-kota besar menjadi hal yang dinamis. Dahulunya sudut-sudut strategis simpang perempatan jalan, tak sulit menemukan pangkalan ojek, namun kini, pangkalan ojek ada dalam genggaman ponsel pintar, bisa kapan saja, di mana saja, dan kemana saja ojek siap mengantar. Begitu juga dengan kebutuhan gaya hidup lainnya, dapat dengan mudah dibeli, bayar, dan barang yang dipesan sampai dirumah. Cukup dengan ponsel pintar dan koneksi internet, yang dahulunya mungkin tak pernah terpikirkan. Namun, apakah fenomena tersebut hanya memberikan sisi daya tarik dan berbagai kemudahan yang ditawarkan internet sebagai kebutuhan saat ini? Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Renald Kasali dalam buku terbarunya yang berjudul "Disruption" mengungkapkan, dalam setiap perubahan atau transisi akan selalu menemukan kelompok orang yang tak siap. Mereka akan menolak perubahan. "Kini dunia tengah menyaksikan perpindahan dari mobil bertenaga bensin ke self driving car yang dikendalikan teknologi informasi melalui smartphone," ungkap Rhenald dalam bukunya. Menurutnya, dengan hal itu, petugas bengkel kelak bukan lagi seorang montir yang dikenal pada abad 20, melainkan para ahli IT yang bekerja dengan perangkat lunak. "Suka tidak suka Internet of Things membentuk kita mulai hari ini," jelasnya. Saat ini, dunia tengah menyaksikan runtuhnya perusahaan-perusahaan besar, para pemilik brand yang beberapa dekade Ialu begitu memesona dan berkibar. "Keadaan yang Iebih parah terjadi pada perusahaan atau institusi yang tak pernah menjembatani lintas-generasi. Bridging generations seharusnya menjadi salah satu program penting perubahan pada abad ini yang harus dilakukan berkali-kali," ucapnya. Lawan Tak Terlihat Dalam buku terbarunya tersebut, Rhenald juga mengatakan, tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi. Motivasi saja tidak cukup. Menurutnya, saat ini semua industri tengah bertarung menghadapi lawan-lawan baru yang tak terlihat, tetapi tiba-tiba menjadi besar. Bahkan, bisa langsung masuk ke rumah-rumah konsumen, dari pintu ke pintu, secara online, melalui smartphone. "Para pemain lama (incumbent) tak bisa mendeteksi karena lawan-lawan berada di luar jangkauan radar mereka," jelasnya dalam buku Disruption. Kata Renald, saat dunia berubah, industri lama pun terdisrupsi tanpa bisa terelakkan lagi. Merasa tak berdaya, banyak orang lama memilih untuk tidak menghadapinya. Mereka memilih untuk bertarung di dalam, bertengkar dengan sesama mereka sendiri ketimbang berpikir dan berinovasi menghadapi Iawan baru di luar sana. Menariknya, kita menyaksikan bahwa hal itu tak terjadi dalam dunia operator telekomunikasi. Mengapa nasib mereka berbeda dengan operator taksi atau pembuat pesawat telepon atau lndustri non-digital lainnya? lnilah pertanyaan yang perlu kita jawab. Saat Nokia tergantikan, PT Telkom yang merupakan BUMN lndonesia justru berupaya keras mendisrupsi dirinya sendiri. "Kita bisa menyaksikan bagaimana Telkom berupaya keras untuk keluar dari perangkap model bisnis lama yaitu fixed line voice," katanya. Badan usaha berpelat merah itu bahkan berkolaborasi dengan PT Angkasa Pura II membangun platform smart airport, mengembangkan sendiri UseeTV yang mendisrupsi bisnis TV kabel, dan mendirikan perusahaan yang kelak dikenal sebagai third party administrator dalam layanan kesehatan. "Suatu revolusi kini mengadang jutaan pembangun merek dan pemilik reputasi yang dutu tak tergoyahkan. Seperti Blue Bird yang harus menghadapi gempuran mobil-mobil yang tak terlihat bermerek taksi, tak berpetat nomor kuning, dan tak tampak beroperasi sebagai taksi. Tahu-tahu revolusi ini sudah besar dan mengoreksi kesejahteraan kita," ungkapnya. Dalam buku tersebut diberikan beberapa realita yang saat ini tengah terjadi dalam kehidupan manusia pada era digital. Buku tersebut juga ditujukan untuk membantu pengusaha atapun masyarakat luas dalam menentukan pilihan berbisnis maupun bekerja. "Ini adalah buku yang pantas dibaca untuk mencegah kegagalan dalam melangkah, membangun karir, dan menciptakan masa depan bagi anak-anaknya," kata Rhenald saat acara diskusi buku di bilangan Periplus Pondok Indah. Rhenald mengungkapkan, salah satu realita yang membuat dirinya menulis buku "Disruption" adalah perkembangan zaman yang menimpa perusahaan raksasa Nokia. Menurut Rhenald, pada zamannya, Nokia berhasil menguasai pasar dan selalu melakukan invonasi, namun nyatanya, saat ini, mengalami kejatuhan yang signifikan. Menurut Rhenald, CEO Nokia pernah berkata, "Kita tidak pernah melakukan kesalahan apapun, tiba-tiba kami kalah dan punah." Contoh kasus lain yang terjadi di Indonesia, adalah perusahaan Blue Bird di mana selama bertahun-tahun menguasai pasar transportasi tetapi saat ini kalah oleh mobil-mobil yang tak terlihat bermerek taksi tetapi beroperasi layaknya seperti taksi. Dengan itu, buku ini hadir membawa pengetahuan baru dari kebiasaan-kebiasaan di masa depan yang tidak relevan dan terus berubah-ubah. "Harapan saya ekonomi indonesia tidak ter-disrupt oleh kekuatan besar dari luar, ini kan seperti menyadarkan orang Indonesia, eh ini lho masalahnya, ini yang jadi ancaman besar, ini strateginya, mindset (pola pikir) harus begini, kalau nggak begini kita akan hilang, nanti kedepan revolusi mental harus, karena harus ada distruption mindset," pungkasnya. Penulis:Pramdia Arhando Julianto Editor:Bambang Priyo Jatmiko Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/02/17/194118226/rhenald.dunia.tengah.saksikan.runtuhnya.perusahaan-perusahaan.besar |
News Archives
August 2021
News CategoriesAll Ekonomi Entrepreneur Finance Hukum/Peraturan Human Resources Profile Inspirasi Technology Umkm Umum |