Budi Satria Isman
  • About
  • Tanya Bisnis
  • Blog
  • Training & Workshop
  • News
  • Contact
  • Member Only
  • About
  • Tanya Bisnis
  • Blog
  • Training & Workshop
  • News
  • Contact
  • Member Only
Search by typing & pressing enter

YOUR CART

Everything You Experience Today Is The Result Of Choices You Have Made In The Past

3/8/2017 0 Comments

Venezuela Akan Jadi Negara Produsen Minyak Pertama yang Gagal Total

Picture
NEW YORK, KOMPAS.com - Venezuela diprediksi menjadi negara produsen minyak pertama di dunia yang mengalami kehancuran total. Padahal, negara di Amerika Latin ini memiliki cadangan minyak terbesar di dunia.

Mengutip CNBC, Selasa (1/8/2017), Global Head of Commodity Strategy RBC Capital Markets Helima Croft, menyatakan kegagalan ini menyusul pemilihan umum yang diselenggarakan di negara itu.

Presiden Nicolas Maduro melaju untuk membentuk lembaga legislatif baru yang dinamakan Lembaga Konstituen Nasional (ANC). Gelombang protes pun tak terbendung, hingga menewaskan sedikitnya 115 orang.

ANC, yang disebut sebagai lembaga superbodi, memiliki wewenang dalam menyusun ulang konstitusi negara yang dipandang mengukuhkan kekuasaan Maduro. Atas langkah itu, Venezuela menuai kritik tajam dari berbagai negara.

AS dan beberapa negara lainnya mengancam bakal menjatuhkan sanksi terhadap Venezuela yang ditargetkan pada sektor minyak dan BUMN perminyakan negara itu, Petróleos de Venezuela, S.A (PDVSA).

"Pemerintahan (Presiden Donald) Trump telah menerbitkan peringatan kepada Maduro terkait pemilu dan dilaporkan tengah mempertimbangkan untuk membidik sektor minyak Venezuela dengan melarang impor dari Venezuela ke AS atau melarang penggunaan dollar AS pada semua transaksi PDVSA," terang Croft.

Kalau itu semua terjadi, maka kondisi tersebut akan sangat menekan PDVSA. Pasalnya, saat ini cadangan devisa Venezuela sudah turun hingga di bawah 10 miliar dollar AS.

Ekonomi Venezuela pernah sangat maju karena industri minyak, yang menyumbang 95 persen terhadap ekspor negara itu. Namun, karena kurangnya investasi membuat sektor minyak semakin tidak menguntungkan dan tidak produktif.

Tak hanya itu, anjloknya harga minyak secara dramatis sejak akhir tahun 2014 membuat ekonomi Venezuela kian menderita.
​
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi inflasi Venezuela mencapai 720 persen pada tahun 2017 ini.
Penulis: Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor: Bambang Priyo Jatmiko
Sumber: CNBC, ​http://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/01/062500526/venezuela-akan-jadi-negara-produsen-minyak-pertama-yang-gagal-total
0 Comments

30/7/2017 0 Comments

Penurunan Daya Beli, Mitos Atau Fakta

Picture
SAYA ingin menanggapi beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kelesuan ekonomi saat ini tidak ada hubungannya dengan penurunan daya beli masyarakat.

Data yang diterbitkan BPS menunjukkan bahwa selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan. Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan, tapi inflasi yang selama semester pertama 2017 mencapai 2,4 persen membuat pendapatan riil mereka tergerus 1,4 persen. Ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah bahwa inflasi tahun ini terkendali. Benar bahwa inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah, tapi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti tarif dasar listrik, gas elpiji dan lain-lain justru mendorong inflasi selama 6 bulan pertama tahun ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu.

Memang penurunan penjualan di banyak sektor bukan hanya disebabkan oleh melemahnya daya beli, apalagi oleh golongan berpendapatan bawah yang memang daya belinya lemah. Penyebab yang lebih penting adalah lantaran golongan kelas menengah menahan belanjanya (delayed purchase). Buktinya, kalau kita melihat data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama 9 bulan terakhir sebenarnya meningkat. Namun peningkatan DPK ini terjadi pada simpanan jangka panjang (deposito) dan giro, sebaliknya DPK dalam bentuk tabungan jangka pendek melambat. Artinya, mereka yang menyimpan uang bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat. 

Pertumbuhan DPK dalam valuta asing dalam 9 bulan terakhir juga jauh lebih cepat daripada dalam rupiah. Ini terjadi sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia dan peningkatan harga sejumlah komoditas andalan Indonesia yang mendorong aktivitas ekspor-impor dalam 9 bulan terakhir. Sayangnya, peningkatan pendapatan tersebut tidak lantas ditransmisikan ke konsumsi di dalam negeri. Mengapa? Salah satu alasannya adalah berkurangnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Hasil survei Bank Indonesia di bulan Juni menunjukkan kembali melemahnya indeks ekspektasi dan kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi dan daya beli selama 6 bulan ke depan, meskipun sempat menguat di awal tahun.

Maraknya e-commerce memang berperan terhadap berkurangnya pelanggan di pertokoan dan pusat perbelanjaan. Tapi kalaulah hanya itu penyebabnya, maka semestinya dampaknya hanya pada sisi hilirnya yaitu para retailers, tidak sampai ke hulu (produsen). Namun faktanya, bukan hanya pertokoan dan mal-mal, tetapi pabrik-pabrik pengolahan juga menahan produksi. Perlambatan produksi sudah terjadi di banyak industri, mulai dari industri pakaian, peralatan listrik, sepeda motor, farmasi, plastik, bahkan juga sudah merambah ke sejumlah industri makanan dan minuman. Artinya, bukan hanya cara membelinya yang bergeser, tetapi permintaan juga melemah, sehingga produksi pun terpaksa ditahan, bahkan dikurangi.

Kita semua tentu sangat tidak berharap terjadi penurunan daya beli dan kelesuan ekonomi, namun sebagai analis dan akademisi kita harus menyampaikan fakta dengan jujur agar kebijakan pemerintah yang sedang giat mendorong ekonomi tidak misleading. [***]  

Mohammad Faisal
(Ekonom Center of Reform on Economics) 

Sumber: 
http://www.rmol.co/read/2017/07/29/300963/Penurunan-Daya-Beli,-Mitos-Atau-Fakta-​
0 Comments

29/7/2017 1 Comment

Daya Beli Terpuruk, Tetapi Jalan Semakin Macet

Picture
RHENALD KASALI
Kompas.com - 29/07/2017, 12:03 WIB
​
Dalam CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja mengundang Perry Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti. Kami membutuhkan Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan ini.

Seperti pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya Perry mengatakan,  "semakin susah bagi kita tak mau berubah!”

Perry yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya ada di daya beli.

“Sudahlah,” ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.

Lawan-lawan tak kelihatan

Tentu saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya.

Hanya masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu semuanya adalah konvensional.

Taksi konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini tentu bisa menyesatkan.

Sampai kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang usianya sudah mendekati 40 tahun.

Generasi millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar biasa.

Di dunia baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata, tak kelihatan.
Ibarat taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent, pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh para wartawan sekaligus.

Kita hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid. Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu wawancara di kampus MIT.

Di situ Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu teori Disruption itu. Apa alasannya?

“Saya akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti ditirukan Christensen.

“Look,” ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data untuk melihat apa yang tengah  dan yang akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”

Intel selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua orang bingung.

Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.

Kita tak cermat membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan semen turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama tahun lalu). Kemana ia beralih?

Juga tak kita baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang semester I tahun ini.

Yang lain kita mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya pengusaha keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat ini sedang drop. Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja, Jakarta-Bandung atau sebaliknya cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi saya untuk mengakui bahwa daya beli turun?”

Saya tambahkan lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu), penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11 persen. Lalu di Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.

Blame and Confirmation trap

Kejadian-kejadian ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan. Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam konfirmasi. “Tuh kan, emang bener, daya beli turun. Jadi wajar, kan?”

Pada saat saya tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha angkutan truk.

Mengapa kita tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik terus penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel (yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie).

Para penjaja mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg menantang seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kaya engagement.

Namun alih-alih membaca weak signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar justru lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian target.

Lantas pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu, katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang , dan daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar kembali naik?”

Come on, my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trapkarena puluhan pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda pun memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita terlalu senang mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame, kita salahkan, bukan memecahkan masalah yang sebenarnya.

Realitas lain

Kebetulan sejak buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami mulai mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional.

Kami mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu.

Kami membuat semacam case study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif. Sebulan sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus itu sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus dan mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok.

Kelompok pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan, para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana mereformulasi strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang marketing dan sales, para CMO (Chief Marketing Officer).

Dalam setiap pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya terjadi atau bakal terjadi.

Kami jadi mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang lain justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel ditutup, mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar.

Kami jadi mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan bahkan Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu.

Kami juga mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua start up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd funding) dan satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama dengan start up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan retail. Kami bisa lebih mudah mengintip data-data mereka.

Dari berbagai pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli.

Minggu lalu saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar yang langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan permintaan yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan hari raya Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi mengejar produksi.

Tetapi yang lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik.

Saya memilih perusahaan yang paling sering disebut situs-situs belanja online semisal JNE atau JNT. Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman barang yang sangat signifikan.

Tetapi yang mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan sentra-sentra pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah terjadi sangat berdampak pada semua pemain lama.

Tak banyak yang menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para pedagang dan konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal dari Tokopedia dan Bukalapak.

Barang-barang pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama ini kita kenal. Petanya telah berubah.

Saya juga membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan tol, pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih dari pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai daerah. Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan.

Saya ingin kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya ceritakan. Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia pun telah mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata.

“Saya menemukan perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah. Mereka yang naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata, dipungut biaya, dan mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil Mercedes komplain: mengapa harus bayar?"

Saya mengerti fenomena disruption ini masih sulit dipahami para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya masing-masing. Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan kita telah tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah "the past (success) trap".

Saya tak mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin bukan itu masalahnya.

Mari kita ikuti terus fenomena disruption ini.
​
Editor: Bambang Priyo Jatmiko
Sumber: 
http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/29/120323026/daya-beli-terpuruk-tetapi-jalan-semakin-macet

TAG:
  • Rhenald Kasali
1 Comment

29/7/2017 0 Comments

Semester I 2017, Laba Angkasa Pura II Melonjak 62 Persen

Picture
JAKARTA, KOMPAS.com - PT Angkasa Pura II (Persero) mencatat laba bersih perseroan mencapai Rp1,46 triliun pada Semester I-2017, naik 62 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 905 miliar.

Direktur Utama AP II Muhammad Awaluddin menuturkan, kenaikan laba perseroan ditopang oleh efisiensi operasional melalui implementasi teknologi informasi di bandara-bandara serta pertumbuhan industri pariwisata nasional.

"Kinerja keuangan cukup menggembirakan," ujarnya kepada awak media di Jakarta, Jumat (28/7/2017).

Pendapatan perseroan pada  tercatat sebesar Rp3,82 triliun, naik sekitar 29 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 2,97 triliun.

Kontributor utamanya yaitu bisnis aeronautika seperti passenger service charge (PSC), biaya pendaratan pesawat, pemakaian garbarata sekitar Rp 2,32 triliun.

Adapun pendapatan lainnya berasal dari bisnis nonaeronautika yaitu konsesi, sewa ruang komersil, kargo, dan lain-lainnya berkontribusi sekitar Rp1,49 triliun. Kontribusi anak usaha terhadap pendapatan AP II juga mengingat.

Pada semester I tahun ini, PT Angkasa Pura Kargo, PT Angkasa Pura Properti dan PT Angkasa Pura Solusi menyumbang 9 persen dari total pendapatan AP II.

Sementara itu laba sebelum dipangkas bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi atau EBITDA perseroan Rp 1,92 triliun, naik 53 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 1,25 triliun.

Selain efisiensi operasional, AP II juga mengungkapkan laba perseroan ditopang oleh kenaikan jumlah penumpang angkutan udara akibat perkembangan pariwisata.

Berdasarkan data, jumlah penumpang di 13 bandara yang dikelola AP II mencapai 49,3 juta orang pada semester I-2017, naik sekitar 9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Melihat tren pergerakan penumpang itu, AP II optimistis pada akhir tahun jumlah penumpang di seluruh bandara dibawah perusahaan dapat mencapai target 100 juta penumpang.
​
Penulis: Yoga Sukmana
Editor: Aprillia Ika
Sumber: ​http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/28/145625526/semester-i-2017-laba-angkasa-pura-ii-melonjak-62-persen
0 Comments

10/7/2017 0 Comments

Ekspansi Bisnis, Sari Roti Akan Terbitkan Saham Baru

Picture
JAKARTA, KOMPAS.com – PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) mendapatkan persetujuan dari pemegang saham terkait rencana penerbitan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue. 

Melalui aksi korporasi tersebut, produsen roti dengan merek dagangSari Roti ini berencana melakukan penawaran umum HMETD sebanyak 1,15 miliar saham.

Seluruh dana bersih yang diperoleh akan digunakan untuk merealisasikan rencana perluasan usaha perseroan dalam bentuk pembangunan pabrik-pabrik baru untuk lini produksi roti, yang berlokasi di dalam maupun di luar pulau Jawa serta di Filipina.

“Rencana pengembangan fasilitas produksi tersebut sejalan dengan upaya memastikan pertumbuhan yang berkesinambungan dalam merealisasikan visi perseroan menjadi salah satu produsen roti terbesar di Asia Tenggara, serta menjadikan Sari Roti lebih dekat dengan konsumen,” kata Direktur Independen PT Nippon Indosari Corpindo Tbk Alex Chin melalui keterangan resmi, Jumat (7/72017).

Hingga saat ini perseroan telah mengeluarkan 68 varian produk Sari Roti, yang terdiri dari jenis roti tawar, roti manis, serta kue yang dapat dinikmati oleh seluruh konsumen dan masyarakat.

“Aksi korporasi ini secara tidak langsung juga akan membuka lapangan kerja baru di seluruh rantai suplai, sehingga dapat diharapkan membantu perekonomian nasional,” tambah Alex.

Sementara itu, sepanjang kuartal I 2017, perseroan meraih pendapat sebesar Rp 602 miliar, turun 1,3 persen dari akhir Maret 2016 sebesar Rp 610 miliar.
​
Penulis: Pramdia Arhando Julianto

Editor: Bambang Priyo Jatmiko
Sumber: ​http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/08/062755926/ekspansi.bisnis.sari.roti.akan.terbitkan.saham.baru
0 Comments

6/7/2017 0 Comments

Tarif Listrik Indonesia Ditargetkan Paling Murah di Asia Tenggara

Picture
JAKARTA, KOMPAS.com - Demi meningkatkan daya beli masyarakat dan daya saing industri. Tarif dasar listrik ( TDL) tidak akan naik sampai akhir tahun 2017 ini. Bahkan, pemerintah dengan PLN berusaha untuk menurunkan TDL.

"Bukan hanya tidak ada kenaikkan listrik sampai akhir tahun ini. Tapi, kami juga akan berusaha menurunkannya," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di Jakarta, Rabu (5/7/2017).

Jonan menegaskan, target pemerintah adalah penurunan pada TDLindustri dan rumah tangga. TDL industri saat ini Rp 1.100 per kilo watt (kWh) dan TDL rumah tangga Rp 1.476 per kWh.

"Nanti kami akan berusaha menurunkan untuk industri jadi Rp 800 sampai Rp 900 per kWh. Termasuk golongan rumah tangga kami akan berusaha juga untuk menurunkan, sehingga jadi efisien," kata mantan Menteri Perhubungan itu.

Ia menargetkan, TDL bisa turun pada tahun 2019 dan 2020 mendatang untuk industri dan golongan rumah tangga agar tidak membebani masyarakat.

"Ya pelan-pelan kita turunkan, harapan kami 2019 bisa turun misal 5 persen. Kalau tidak bisa ya 2020," kata Jonan.

Ia juga berujar, TDL di Indonesia juga tidak akan berpatokan atau ikut menyesuaikan harga listrik di negara-negara Asia Tenggara.   Contohnya, di Filipina Rp 2.300 per Kwh, Singapura Rp 2.100 per kWh, Thailand Rp 1.500 per kWH dan negara lainnya.

"Tidak berpatokan dengan negara ASEAN, kalau bisa lebih efisien kenapa tidak, kalau bisa juara (lebih murah)," tutup Jonan.
​
Penulis: Moh. Nadlir

Editor: Muhammad Fajar Marta

Sumber: ​http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/05/220002126/tarif.listrik.indonesia.ditargetkan.paling.murah.di.asia.tenggara
0 Comments

4/7/2017 0 Comments

Soal Pemindahan Ibu Kota, Fadli Zon Sebut Pemerintah Mimpi

Picture
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik pemerintah yang dianggap terburu-buru mewacanakan pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta.

Fadli mengingatkan bahwa pemindahan ibu kota adalah suatu hal yang besar dan tidak bisa dilakukan secara serampangan.

"Itu ( pemindahan ibu kota) butuh kajian yang mendalam. Tidak bisa saat tiba akal. Ini momentum yang belum tepat," kata Fadli Zon kepada Kompas.com, Selasa (4/7/2017).

Fadli mengingatkan bahwa saat ini negara tidak memiliki uang yang cukup untuk melakukan pekerjaan besar seperti memindahkan ibu ota. Utang Indonesia juga kian hari kian menggunung untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur yang saat ini tengah dikerjakan.

"Sementara banyak proyek infrastruktur saja terancam mangkrak karena kesulitan dana. Itu yang saya pantau di lapangan. Jadi konsentrasi dulu saja pemerintah. Enggak usah jauh memikirkan pindah ibu kota, itu pekerjaan besar," ucap Fadli.

Di sisi lain, Fadli menilai banyak pekerjaan kecil pemerintah yang belum tuntas. Misalnya, menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Jadi saya kira itu ( pemindahan ibu kota) masih mimpilah. Lebih baik fokus kepada persoalan jangka pendek," ucap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.

Fadli juga mempertanyakan rencana pemerintah menggandeng swasta dalam pemindahan ibu kota ini. Sebab, akan banyak gedung-gedung pemerintahan yang dibangun sehingga harusnya anggaran berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

"Ini kan kita bicara ibu kota, bangunan pemerintah, ya harus milik negara dong. Kecuali untuk infrastruktur lainnya. Menyangkut gedung perkantoran enggak bisa disewakan dari swasta. Pemerintah macam apa begitu," ucap Fadli.

Fadli juga mengingatkan bahwa pemindahan ibu kota memerlukan izin DPR. Sebab, rencana ini akan berdampak pada hajat hidup orang banyak.

"Jadi lebih bagus diurungkan dulu niat itu. Jangan sampai proyek yang ada mangkrak," kata dia.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengaku telah membahas rencana detailpemindahan ibu kota ini bersama Presiden Joko Widodo.

Dalam perbincangan terakhirnya dengan Presiden, Bambang mengatakan kajian pemindahan ibu kota, termasuk skema pendanaan, akan rampung tahun ini.

"Maka tahun 2018 atau 2019 sudah mulai ada kegiatan terkait dengan pemindahan pusat administrasi pemerintahan," kata Bambang, di kantor Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (3/7/2017).
Bambang memastikan, ibu kota tidak akan berada di Pulau Jawa.

"Kemungkinan besar (ibu kota dipindah) di Pulau Kalimantan. Tapi spesifik dimananya di Kalimantan, itu yang masih akan kami finalkan," kata Bambang.
​
Penulis: Ihsanuddin
Editor: Bayu Galih

Sumber: ​http://nasional.kompas.com/read/2017/07/04/20054461/soal.pemindahan.ibu.kota.fadli.zon.sebut.pemerintah.mimpi
0 Comments

4/7/2017 0 Comments

Menurut Fitch Ratings, Ini Penyebab Tutupnya 7-Eleven di Indonesia

Picture
JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings turut menyoroti perihal penghentian opedasional gerai 7-Elevendi Indonesia.

Menurut Fitch, ini bukan merupakan bukti permasalahan pada seluruh industri ritel, namun cenderung merefleksikan keadaan yang dirasa janggal pada pewaralaba.

Dalam pernyataannya, Senin (3/7/2017), Fitch menyatakan penutupan gerai-gerai 7-Eleven di Indonesia menegaskan risiko terkait regulasi.

Selain itu, kondisi ini juga mengemukakan pentingnya model bisnis yang solid bagi profil kredit peritel.

PT Modern Internasional Tbk menyatakan menutup semua gerai 7-Eleven pada 30 Juni 2017 dikarenakan kurangnya sumber daya untuk membiayai operasional gerai.

Pengumuman ini dibuat beberapa pekan setelah kesepakatan menjual anak usaha yang mengelola 7-Eleven kepada PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk gagal.

"Model bisnis Modern Internasional untuk jaringan 7-Eleven terganggu oleh perkembangan peraturan yang tidak menguntungkan," tulis Fitch.

Pada tahun 2015, sekira 20 gerai 7-Eleven ditutup. Adapun pada tahun 2016 ada 25 gerai yang ditutup, menyisakan hanya 161 gerai.

Penutupan gerai ini menyusul aturan Kementerian Perindustrian pada April 2015 yang melarang penjualan minuman beralkohol di gerai ritel modern kecil seperti 7-Eleven.

Padahal, minuman beralkohol menyumbang sekitar 15 persen penjualan Modern Internasional.

Penutupan gerai berdampak pada penurunan penjualan sebesar 28 persen dan kerugian EBITDA pada tahun 2016.

Fitch meyakini, permasalahan bisnis yang dialami 7-Eleven dikarenakan tidak jelasnya perbedaan antara gerai 7-Eleven dengan jaringan restoran cepat saji dan restoran skala menengah di Indonesia.

"Model bisnis dan risiko gerai 7-Eleven mirip dengan restoran, karena jaringan gerai ( 7-Eleven) menjual makanan siap santap, minuman, dengan area tempat duduk dan Wi-Fi gratis," ungkap Fitch.

Alhasil, 7-Eleven harus menghadapi kuatnya persaingan dengan jaringan restoran cepat saji dan pedagang makanan tradisional yang masih sangat populer di kalangan konsumen Indonesia.

Profil risiko bisnis ini sangat berbeda dibandingkan minimarket dan convenience store, seperti Alfamart dan Indomaret, yang lebih menegaskan profilnya untuk menjual barang kebutuhan sehari-hari dan jaringannya lebih luas.

Di samping itu, gerai-gerai 7-Eleven juga memiliki biaya sewa yang lebih tinggi.

Bagaimana tidak, 7-Eleven menyediakan area duduk yang membutuhkan area luasan toko yang lebih luas.
Pun sebagian besar gerai 7-Eleven di Jakarta berlokasi di area utama yang pastinya memiliki biaya sewa yang lebih tinggi.

"Biaya sewa Modern Internasional naik sekitar 28 persen pada 2016 meski banyak gerainya ditutup pada tahun 2016 dan 2015," ungkap Fitch. 
​
Penulis: Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor: Aprillia Ika
Sumber: Reuters, ​http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/04/091000926/menurut.fitch.ratings.ini.penyebab.tutupnya.7-eleven.di.indonesia
0 Comments

4/7/2017 0 Comments

Kopi Indonesia Berjaya di World of Coffee Budapest 2017

Picture
BUDAPEST, KOMPAS.com – Upaya mengenalkan dan meningkatkan daya saing kopi Indonesia terus dilakukan perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri.

Salah satunya melalui keikutsertaan dalam World of Coffee (WoC) Budapest 2017 di Hung Expo Budapest, Hongaria, pada 13-15 Juni 2017.

Keikutsertaan Indonesia di World of Coffee (WoC) Budapest 2017 berhasil membukukan transaksi 4,9 juta dollar AS selama pameran berlangsung.

Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Budapest Hikmat Rijadi mengungkapkan, partisipasi Indonesia ke-3 kalinya ini merupakan partisipasi terbaik di WoC dari sisi jumlah buyers dan inquiry yang diterima.

“Kami harapkan partisipasi Indonesia dalam WoC Budapest 2017 ini mampu mengenalkan dan menjadikan specialty coffee Indonesia semakin kompetitif di pasar Eropa,” ungkap Hikmat Rijadi melalui pernyataannya ke Kompas.com.

Beberapa specialty coffee Indonesia yang dipromosikan kali ini antara lain kopi arabika dari Sumatera Gayo, Lintong, Kerinci, Solok Minang, Bengkulu, Jawa Barat Preanger dan Papandayan.

Serta dari Jawa Tengah Temanggung, Jawa Timur Bondowoso dan Kalisat, Bali Kintamani, Flores Bajawa, Sulawesi Toraja, dan Papua Wamena.

Adapun dari jenis kopi robusta yaitu kopi asal Lampung, Jawa Tengah Temanggung, Flores Manggarai, serta tidak ketinggalan kopi Luwak.

Sebanyak lebih dari 32 inquiry juga datang dari beberapa negara di Eropa seperti Bulgaria, Polandia, Kroasia, Slovakia, Slovenia, Ceko, Italia, Belanda, Belgia, Swiss, Jerman, dan Inggris.

Ada pula inquiry dari kawasan lain seperti Turki, Israel, Amerika Latin (Brasil, Kolombia, dan Guatemala), Timur Tengah (Kuwait dan UAE), dan Asia (Korea Selatan, RRT, Vietnam).

Pertemuan B-to-B yang mempertemukan perusahaan kopi Indonesia dengan perusahaan kopi Hongaria pada 16-17 Juni 2017 pun berhasil menghasilkan inquiry untuk kerja sama dan penawaran pembelian.

Menurut Atase Perdagangan Brussel Olvy Andrianita, pertumbuhan industri ritel kopi di Eropa, khususnya Hongaria, seperti Starbucks, Costa Coffee, dan kafe lokal mengalami peningkatan.

Hal ini mengindikasikan kebutuhan kopi di Eropa semakin tinggi dan budaya minum kopi semakin
merata di segala jenjang umur dengan tingkat konsumsi kopi 3,5 kg per kapita per tahun.

Nilai ekspor kopi Indonesia ke Uni Eropa pada 2016 pun tercatat 239,57 juta euro, meskipun tren 
ekspornya menurun 0,05 persen dalam 5 tahun terakhir (2012-2016).

Peluang besar ini harus dijadikan kesempatan untuk meningkatkan ekspor kopi Indonesia ke wilayah Eropa, khususnya Hongaria.

"WoC menjadi kesempatan menunjukkan eksistensi kopi Indonesia dan mempromosikan specialty and sustainable coffee kepada buyer dan pencinta kopi Eropa,” tegas Olvy.

Pada WoC Budapest 2017, Paviliun Indonesia bertemakan Indonesia Specialty and Sustainable Coffee didesain bernuansa Jawa Barat dengan latar Gedung Sate di area seluas 98 m2 .

Paviliun Indonesia menampilkan kesan penyambutan dan penerimaan yang hangat terhadap buyer.
​
Penulis: Aprillia Ika

Editor: Aprillia Ika

Sumber: ​http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/04/060000126/kopi.indonesia.berjaya.di.world.of.coffee.budapest.2017
0 Comments

3/7/2017 0 Comments

Bappenas: Industri Manufaktur RI Harus Jadi Pemasok Kebutuhan Global

Picture
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa pihaknya mendorong transformasi perekonomian Indonesia dari berbasis komoditas ke manufaktur. Sebab kata mantan Menteri Keuangan RI tersebut, transformasi ekonomi itu penting sebagai prasyarat menjadi negara maju.

"Negara berbasis sumber daya alam tidak akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan rawan gejolak dibandingkan mengembangkan industri manufaktur," kata Bambang dalam keterangannya, Selasa (13/6/2017).

Bambang berujar, Indonesia, seringkali terlena dengan beberapa kali "booming" komoditas, sehingga lupa memperkuat industrialisasi dan infrastruktur.

"Ketika terjadi booming komoditas minyak, kayu, dan sawit/batubara, Indonesia mengekspor sebanyak-banyaknya, namun lupa dengan pengembangan infrastruktur dan manufaktur," kata dia. 

Lebih lanjut, rule of thumb negara industri adalah ketika porsi sektor manufakturnya berkontribusi sudah di atas 30 persen dari total produk domestuk bruto (PDB) suatu negara.

"Indonesia, pernah mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen pada tahun 1990-an ketika mulai melakukan industrialisasi," kata dia.

Karenanya, di era Pemerintahan Joko Widodo dengan program Nawacita. Pemerintah berkomitmen untuk memperkuat industrialisasi yang berbasis manufaktur dan infrastruktur.

Alasannya, ekonomi Indonesia sudah saatnya meninggalkan pola pertumbuhan berbasis komoditas yang sejak dahulu menjadi tumpuan utama.

"Kebangkitan sektor manufaktur diharapkan mampu mendukung kemandirian ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Sehingga ekonomi nasional tidak lagi tergantung sektor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga serta gejolak ekonomi global," terang dia.

Saat ini industri manufaktur menjadi salah satu sektor yang diprioritaskan pemerintah. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2018 misalnya, Bappenas menetapkan tiga industri prioritas, yakni pertanian, pengolahan, dan pariwisata.

"Salah satunya kenapa pengolahan? Karena kita konsen terhadap kontribusi manufaktur terhadap PDB, yang sejak krisis cenderung turun," kata dia.

Untuk itu industri manufaktur Indonesia harus disiapkan menjadi bagian dari pemasok kebutuhan global. Indonesia harus masuk ke dalam sistem perdagangan dunia dan mengikuti kebutuhan manufaktur dunia, hingga akhirnya mampu menjadi bagian dari supply chain global.

"Caranya, sektor manufaktur Indonesia harus mampu memproduksi barang-barang yang dibutuhkan oleh pasar global dengan menjaga kualitas terbaik. Dengan demikian, pasar global akan menjadikan produk Indonesia sebagai bagian dari rantai tersebut," kata dia.

Membaiknya harga sejumlah komoditas andalan Indonesia membuat ekspor Januari meningkat hampir 28% ketimbang setahun sebelumnya. Di sisi impor, meski masih tumbuh, tapi pertumbuhannya hanya 14,5%. Sementara itu, ekspor produk manufaktur juga mulai meningkat. Alhasil, sepanjang Januari lalu, perdagangan Indonesia surplus hampir 1,4 Miliar Dollar. Badan Pusat Statistik menyatakan perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor membuat nilai ekspor terus naik.

Penulis : Moh. Nadlir

Editor: Aprillia Ika

Sumber: ​http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/06/13/131000526/bappenas.industri.manufaktur.ri.harus.jadi.pemasok.kebutuhan.global.
0 Comments
<<Previous
Forward>>

    News Archives

    August 2021
    January 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015

    News Categories

    All Ekonomi Entrepreneur Finance Hukum/Peraturan Human Resources Profile Inspirasi Technology Umkm Umum

    RSS Feed

    Picture
    try sociocaster