JAKARTA. Bisnis startup Indonesia terus menjadi bidikan investor luar negeri. Yang terbaru, PT Fokus Cyber Media, startup Indonesia yang bergerak dalam bidang content berita yang berbasis payment gateway, memperoleh suntikan dana US$ 2,5 miliar dari sindikasi investor yang berasal dari China dan Eropa. Budi Purnomo, Corporate Secretary PT Fokus Cyber Media mengatakan, pengucuran dana tersebut rencananya akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama, dana yang akan dikucurkan sebesar US$ 750 juta. Dana tersebut rencananya juga akan digunakan untuk pembiayaan payment gateway Hallopay dan Hallomoney, serta memperluas jaringan outlet untuk mempermudah eksekusi transaksi finansial.Setelah akuisisi, sebagian dana juga akan digunakan untuk memperkuat struktur permodalan, dan mengembangkan media siber yang fokus dalam dua segmen pemberitaan. "Kami akan menjadi media pemberitaan pariwisata terdepan di Indonesia. Selain itu, kami juga akan mengembangkan pemberitaan nasional dengan jaringan daerah yang terbanyak," ujarnya. Hingga akhir tahun 2017 ini, lanjut Budi, ditargetkan lebih dari 100 media siber sudah live di seluruh Indonesia. Kelebihan dari media-media tersebut adalah semuanya berbasis payment gateway yang terintegrasi secara digital. Learn More Reporter :Hendra Gunawan Editor : Hendra Gunawan Sumber: http://industri.kontan.co.id/news/fokus-cyber-media-dapat-suntikan-dana-us-25-mFINTECH
0 Comments
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilik rumah makan "Ayam Gepuk Pak Gembus", Ridho Nurul Adityawan mengakui berwirausaha lebih enak ketimbang jadi karyawan.
Ridho yang juga dipanggil Pak Gembus ini mengakui hidupnya lebih sejahtera saat menjadi wirausaha ketimbang menjadi karyawan biasa. Hanya saja, dia mengimbau bagi para calon wirausaha untuk tidak melihat dirinya saat tengah di atas seperti ini. Namun melihat ketika Ridho berada pada posisi tersulit, ketika berutang, dagangannya tidak laku, dan lain-lain. "Intinya dulu memang di masa-masa kepepet, masa tersulit. Kalau rumusnya orang kepepet itu kan otomatis mau gerak, cowok itu kan pikirannya bagaimanapun pun caranya harus dapat duit lah," kata Ridho. Dia juga menyarankan orang-orang yang ingin berwirausaha untuk menghilangkan gengsi dan bersangguh-sungguh menjalani semua usaha yang akan dirintis. "Kalau mau jadi orang kaya, orang sukses benar-benar harus dari nol. Jangan ngandelin orang tua atau siapapun, anggap saja posisi kita dalam posisi kepepet," kata Ridho. Berkah kegigihannya, Ridho yang awalnya bekerja sendiri, kini memiliki staf dan kepala divisi di PT Yellow Food Indonesia sebanyak 36 orang. Sedangkan karyawan di seluruh cabangnya mencapai 700 orang. "Ya Alhamdulillah, dulu makan susah. Sekarang omset per bulan sudah Rp 14 miliar per bulan, tapi itu omset kantor ya," kata Ridho. Kantornya merupakan pabrik pengolahan ayam, tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Tiap bulan, perusahaannya untung sekitar Rp 2 miliar-Rp 3 miliar. "Kalau untuk saya pribadi Rp 800 juta sampai Rp 1 miliar, Alhamdulillah. Laba bersihnya," kata pria berusia 29 tahun tersebut. Penulis: Kurnia Sari Aziza Editor: Bambang Priyo Jatmiko Sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/31/120930826/berkat-rumah-makan-omzet-pak-gembus-capai-rp-14-miliar-per-bulan HONG KONG, KOMPAS.com - Perusahaan rintisan digital ( startup) layanan perjalanan asal Indonesia, Traveloka dikabarkan memperoleh suntikan modal sebesar 400 juta dollar AS. Pemberian modal tersebut dipimpin oleh perusahaan sejenis, yakni Expedia Inc.
Mengutip Bloomberg, Minggu (30/7/2017), dengan pendanaan tersebut, maka valuasi Traveloka saat ini mencapai 2 miliar dollar AS. Dengan demikian, posisi Traveloka aman sebagai startup perjalanan online terbesar di Indonesia. Informasi tersebut diungkapkan oleh sumber yang enggan disebutkan identitasnya. Investasi kepada Traveloka dilakukan dalam beberapa putaran. Expedia menyatakan berkontribusi 350 juta dollar AS terhadap rangkaian pendanaan bagi Traveloka. Ini adalah salah satu investasi terbesar dalam lima tahun terakhir bagi startup yang disokong oleh JD.cm Inc, Sequoia Capital, East Ventures, dan Hillhouse Capital tersebut. Pihak Expedia menyatakan jumlah pendanaan yang telah diperoleh Traveloka dalam dua putaran pada setahun terakhir mencapai 500 juta dollar AS. Adapun pihak Traveloka belum memberikan keterangannya. Traveloka yang berkantor pusat di Jakarta kian berkembang dalam pesatnya industri online di Asia Tenggara. Kawasan ini adalah rumah bagi 600 juta lebih pasar perjalanan online, yang pangsa pasarnya bakal naik empat kali lipat menjadi 90 miliar dollar AS pada 2025. "Traveloka jelas merupakan pemimpin dalam bisnis perjalanan online di Indonesia dan berekspansi secara agresif ke Asia Tenggara," kata CEO Expedia Dara Khosrowshahi dalam pernyataannya. Penulis: Sakina Rakhma Diah Setiawan Editor: Aprillia Ika Sumber: Bloomberg, http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/30/114133826/traveloka-dapat-suntikan-modal-400-juta-dollar-as NEW YORK, KOMPAS.com - Pendiri perusahaan teknologi layanan kesehatan Theranos Elizabeth Holmes (33) pernah menjadi wanita terkaya di dunia, yang memperoleh kekayaan dengan usahanya sendiri.
Kekayaan Holmes menurut Forbes mencapai 4,5 miliar dollar AS. Namun, karena permasalahan terkait sengketa, Theranos hancur dan kini kantor pusatnya di Palo Alto, California disewakan. Kekayaan Holmes pun merosot tajam, yang kabarnya nyaris habis. Lalu, siapa saat ini yang menyandang gelar wanita terkaya di dunia dengan usahanya sendiri? Mengutip Time, Minggu (30/7/2017), gelar tersebut saat ini disandang oleh Zhou Qunfei (47), pendiri dan CEO Lens Technology. Perusahaan ini adalah produsen layar untuk ponsel pintar iPhone. Lens Technology melantai di bursa saham pada tahun 2015 silam, yang membuat Zhou menjadi sangat kaya. Harta kekayaan Zhou diestimastikan mencapai sekitar 9 miliar dollar AS. Dengan jumlah kekayaannya tersebut, Zhou tidak hanya menyandang gelar miliarder wanita yang memperoleh kekayaannya dengan jerih payah sendiri, namun juga merupakan wanita terkaya di dunia yang menaiki tangga kekayaan dengan usahanya sendiri. "Ia barangkali adalah wanita terkaya di dunia yang paling sukses dengan usahanya sendiri. Ia adalah sesorang yang tak diketahui dunia hingga tahun lalu dan kisahnya fenomenal," kata Rupert Hoogewerf, editor situs pelacak kekayaan warga China, Hurun. Menurut Hurun, Zhou adalah yang terkaya di jajaran wanita terkaya di China yang memperoleh kekayaan dengan usahanya sendiri. Miliarder wanita adalah produk komitmen pemerintah China terkait kesetaran gender. "Pemerintah China mengizinkan wanita untuk maju setelah kapitalisme berkembang," ungkap Huang Yasheng, profesor dan pakar kewirausahaan China di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Zhou dibesarkan di kawasan pertanian dan keluar dari SMA pada usia 16 tahun untuk bekerja di pabrik lensa jam tangan. Ia tumbuh dewasa pada era liberalisasi di China. Dengan hanya bermodalkan beberapa ribu dollar AS, Zhou mendirikan perusahaan lensa jam tangannya sendiri. Saat itu usianya baru mencapai 22 tahun. "Pada periode pesatnya pertumbuhan ekonomi China, ada banyak kesempatan bagi para wirausahawan, termasuk wanita. Saya bisa mengembangkan bisnis saya," tutur Zhou. Bisnis Zhou tumbuh melambat namun tetap stabil selama sekira satu dekade. Suatu hari pada tahun 2003, Zhou mendapat panggilan telepon dari Motorola yang tengah berusaha mengembangkan layar tahan gesekan untuk ponsel Razr V3 terbaru kala itu. "Saya dapat panggilan ini, mereka katakan, 'cukup katakan ya atau tidak, kalau jawabannya adalah ya, kami akan bantu Anda menjalankan prosesnya.' Akhirnya saya menjawab ya," kenang Zhou. Saat ini, pelanggan Lens Technology di antaranya adalah HTC, Nokia, dan Samsung. Pada tahun 2007, untuk pertama kalinya Apple mencatat pesanan kepada Zhou untuk iPhone terbarunya. Saat ini, Lens Technology memiliki 32 pabrik di 7 lokasi berbeda dan 90.000 pegawai. Zhou sendiri telah menikah dan memiliki dua orang anak. Zhou bekerja 18 jam setiap hari. Times mendeskripsikan Zhou sebagai orang yang sangat memperhatikan detail, yang menurutnya sifat ini muncul lantaran kehidupan masa lalunya yang miskin dan dengan ayah yang setengah buta. Semua barang yang ada di rumah keluarga Zhou kala itu harus ditata dengan sangat rapi agar sang ayah tidak tersandung atau terluka, kenang Zhou. Penulis: Sakina Rakhma Diah Setiawan Editor: Aprillia Ika Sumber: time.com, http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/30/183000726/tak-lulus-sma-jadi-wanita-terkaya-di-dunia SAYA ingin menanggapi beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kelesuan ekonomi saat ini tidak ada hubungannya dengan penurunan daya beli masyarakat.
Data yang diterbitkan BPS menunjukkan bahwa selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan. Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan, tapi inflasi yang selama semester pertama 2017 mencapai 2,4 persen membuat pendapatan riil mereka tergerus 1,4 persen. Ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah bahwa inflasi tahun ini terkendali. Benar bahwa inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah, tapi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti tarif dasar listrik, gas elpiji dan lain-lain justru mendorong inflasi selama 6 bulan pertama tahun ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu. Memang penurunan penjualan di banyak sektor bukan hanya disebabkan oleh melemahnya daya beli, apalagi oleh golongan berpendapatan bawah yang memang daya belinya lemah. Penyebab yang lebih penting adalah lantaran golongan kelas menengah menahan belanjanya (delayed purchase). Buktinya, kalau kita melihat data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama 9 bulan terakhir sebenarnya meningkat. Namun peningkatan DPK ini terjadi pada simpanan jangka panjang (deposito) dan giro, sebaliknya DPK dalam bentuk tabungan jangka pendek melambat. Artinya, mereka yang menyimpan uang bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat. Pertumbuhan DPK dalam valuta asing dalam 9 bulan terakhir juga jauh lebih cepat daripada dalam rupiah. Ini terjadi sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia dan peningkatan harga sejumlah komoditas andalan Indonesia yang mendorong aktivitas ekspor-impor dalam 9 bulan terakhir. Sayangnya, peningkatan pendapatan tersebut tidak lantas ditransmisikan ke konsumsi di dalam negeri. Mengapa? Salah satu alasannya adalah berkurangnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Hasil survei Bank Indonesia di bulan Juni menunjukkan kembali melemahnya indeks ekspektasi dan kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi dan daya beli selama 6 bulan ke depan, meskipun sempat menguat di awal tahun. Maraknya e-commerce memang berperan terhadap berkurangnya pelanggan di pertokoan dan pusat perbelanjaan. Tapi kalaulah hanya itu penyebabnya, maka semestinya dampaknya hanya pada sisi hilirnya yaitu para retailers, tidak sampai ke hulu (produsen). Namun faktanya, bukan hanya pertokoan dan mal-mal, tetapi pabrik-pabrik pengolahan juga menahan produksi. Perlambatan produksi sudah terjadi di banyak industri, mulai dari industri pakaian, peralatan listrik, sepeda motor, farmasi, plastik, bahkan juga sudah merambah ke sejumlah industri makanan dan minuman. Artinya, bukan hanya cara membelinya yang bergeser, tetapi permintaan juga melemah, sehingga produksi pun terpaksa ditahan, bahkan dikurangi. Kita semua tentu sangat tidak berharap terjadi penurunan daya beli dan kelesuan ekonomi, namun sebagai analis dan akademisi kita harus menyampaikan fakta dengan jujur agar kebijakan pemerintah yang sedang giat mendorong ekonomi tidak misleading. [***] Mohammad Faisal (Ekonom Center of Reform on Economics) Sumber: http://www.rmol.co/read/2017/07/29/300963/Penurunan-Daya-Beli,-Mitos-Atau-Fakta- RHENALD KASALI
Kompas.com - 29/07/2017, 12:03 WIB Dalam CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja mengundang Perry Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti. Kami membutuhkan Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan ini. Seperti pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya Perry mengatakan, "semakin susah bagi kita tak mau berubah!” Perry yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya ada di daya beli. “Sudahlah,” ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya. Lawan-lawan tak kelihatan Tentu saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya. Hanya masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu semuanya adalah konvensional. Taksi konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini tentu bisa menyesatkan. Sampai kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang usianya sudah mendekati 40 tahun. Generasi millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar biasa. Di dunia baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata, tak kelihatan. Ibarat taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent, pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh para wartawan sekaligus. Kita hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid. Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu wawancara di kampus MIT. Di situ Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu teori Disruption itu. Apa alasannya? “Saya akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti ditirukan Christensen. “Look,” ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data untuk melihat apa yang tengah dan yang akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.” Intel selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua orang bingung. Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional. Kita tak cermat membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan semen turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama tahun lalu). Kemana ia beralih? Juga tak kita baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang semester I tahun ini. Yang lain kita mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya pengusaha keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat ini sedang drop. Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja, Jakarta-Bandung atau sebaliknya cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi saya untuk mengakui bahwa daya beli turun?” Saya tambahkan lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu), penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11 persen. Lalu di Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen. Blame and Confirmation trap Kejadian-kejadian ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan. Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam konfirmasi. “Tuh kan, emang bener, daya beli turun. Jadi wajar, kan?” Pada saat saya tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha angkutan truk. Mengapa kita tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik terus penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel (yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie). Para penjaja mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg menantang seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kaya engagement. Namun alih-alih membaca weak signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar justru lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian target. Lantas pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu, katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang , dan daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar kembali naik?” Come on, my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trapkarena puluhan pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda pun memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita terlalu senang mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame, kita salahkan, bukan memecahkan masalah yang sebenarnya. Realitas lain Kebetulan sejak buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami mulai mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional. Kami mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu. Kami membuat semacam case study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif. Sebulan sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus itu sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus dan mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan, para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana mereformulasi strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang marketing dan sales, para CMO (Chief Marketing Officer). Dalam setiap pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya terjadi atau bakal terjadi. Kami jadi mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang lain justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel ditutup, mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar. Kami jadi mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan bahkan Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu. Kami juga mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua start up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd funding) dan satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama dengan start up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan retail. Kami bisa lebih mudah mengintip data-data mereka. Dari berbagai pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli. Minggu lalu saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar yang langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan permintaan yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan hari raya Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi mengejar produksi. Tetapi yang lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik. Saya memilih perusahaan yang paling sering disebut situs-situs belanja online semisal JNE atau JNT. Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman barang yang sangat signifikan. Tetapi yang mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan sentra-sentra pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah terjadi sangat berdampak pada semua pemain lama. Tak banyak yang menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para pedagang dan konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal dari Tokopedia dan Bukalapak. Barang-barang pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama ini kita kenal. Petanya telah berubah. Saya juga membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan tol, pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih dari pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai daerah. Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan. Saya ingin kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya ceritakan. Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia pun telah mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata. “Saya menemukan perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah. Mereka yang naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata, dipungut biaya, dan mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil Mercedes komplain: mengapa harus bayar?" Saya mengerti fenomena disruption ini masih sulit dipahami para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya masing-masing. Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan kita telah tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah "the past (success) trap". Saya tak mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin bukan itu masalahnya. Mari kita ikuti terus fenomena disruption ini. Editor: Bambang Priyo Jatmiko Sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/29/120323026/daya-beli-terpuruk-tetapi-jalan-semakin-macet TAG: JAKARTA, KOMPAS.com - PT Angkasa Pura II (Persero) mencatat laba bersih perseroan mencapai Rp1,46 triliun pada Semester I-2017, naik 62 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 905 miliar.
Direktur Utama AP II Muhammad Awaluddin menuturkan, kenaikan laba perseroan ditopang oleh efisiensi operasional melalui implementasi teknologi informasi di bandara-bandara serta pertumbuhan industri pariwisata nasional. "Kinerja keuangan cukup menggembirakan," ujarnya kepada awak media di Jakarta, Jumat (28/7/2017). Pendapatan perseroan pada tercatat sebesar Rp3,82 triliun, naik sekitar 29 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 2,97 triliun. Kontributor utamanya yaitu bisnis aeronautika seperti passenger service charge (PSC), biaya pendaratan pesawat, pemakaian garbarata sekitar Rp 2,32 triliun. Adapun pendapatan lainnya berasal dari bisnis nonaeronautika yaitu konsesi, sewa ruang komersil, kargo, dan lain-lainnya berkontribusi sekitar Rp1,49 triliun. Kontribusi anak usaha terhadap pendapatan AP II juga mengingat. Pada semester I tahun ini, PT Angkasa Pura Kargo, PT Angkasa Pura Properti dan PT Angkasa Pura Solusi menyumbang 9 persen dari total pendapatan AP II. Sementara itu laba sebelum dipangkas bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi atau EBITDA perseroan Rp 1,92 triliun, naik 53 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 1,25 triliun. Selain efisiensi operasional, AP II juga mengungkapkan laba perseroan ditopang oleh kenaikan jumlah penumpang angkutan udara akibat perkembangan pariwisata. Berdasarkan data, jumlah penumpang di 13 bandara yang dikelola AP II mencapai 49,3 juta orang pada semester I-2017, naik sekitar 9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Melihat tren pergerakan penumpang itu, AP II optimistis pada akhir tahun jumlah penumpang di seluruh bandara dibawah perusahaan dapat mencapai target 100 juta penumpang. Penulis: Yoga Sukmana Editor: Aprillia Ika Sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/28/145625526/semester-i-2017-laba-angkasa-pura-ii-melonjak-62-persen KOMPAS.com - Rumor yang menyebutkan bahwa Grab mendapatkan sejumlah besar tambahan modal dari Didi Chuxing dan Softbankternyata benar adanya.
Awal pekan ini, Grab secara resmi mengumumkan investasi senilai 2 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 26 triliun dari kedua investor asal China dan Jepang tersebut. Dalam keterangan tertulis yang diterima KompasTekno, Senin (24/7/2017), Grab memproyeksikan jumlah investasi dalam putaraan pendanaan terbaru itu bisa meningkat 500 juta dollar AS hingga mencapai 2,5 miliar dollar AS dengan tambahan dana dari investor lain, baik yang sudah menamam modal sebelumnya maupun investor baru. Investasi dari Didi Chuxing dan Softbank disebut merupakan pendanaan tunggal yang memecahkan rekor di Asia Tenggara. Nilai pendanaan tersebut dikatakan terbesar dalam sejarah perusahaan di Asia Tenggara. Valuasi Grab pun terdongkrak hingga lebih dari 6 miliar dollar AS, menurut informasi yang dirangkum KompasTekno dari TechCrunch. “Dengan dukungan mereka (Didi Chuxing dan Softbank), Grab akan menjadi pemimpin pasar yang tak terbantahkan di industri ride sharing, dan membangun GrabPay sebagai solusi pembayaran pilihan utama bagi masyarakat Asia Tenggara,” ujar Pendiri dan CEO Grab Anthony Tan dalam keterangan tertulis Grab. Dengan basis di Singapura, Grab beroperasi di tujuh negara wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Perusahaan ini belakangan memperkenalkan dan mendorong pengembangan layanan dompet digital GrabPay untuk memaksimalkan potensi pasarnya, terutama di Indonesia yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Awal tahun ini Grab mengakuisisi Startup fintech Kudo setelah mengumumkan komitmen investasi 700 juta dollar AS di Indonesia. Langkah Grab terjun di ranah fintech mengikuti rival beratnya, Go-Jek, yang telah lebih dulu menawarkan solusi pembayaran serupa bertama Go Pay. Bulan lalu, Go-Jek memperoleh pendanaan senilai 1,2 miliar dollar AS dari Tencent. Penulis: Oik Yusuf Editor: Deliusno Sumber: TechCrunch, http://tekno.kompas.com/read/2017/07/24/11030637/pecah-rekor-grab-resmi-dapat-tambahan-modal-rp-26-triliun KOMPAS.com - Pendiri Amazon, Jeff Bezos, mengambil alih posisi Bill Gates sebagai orang terkaya di dunia selama beberapa jam.
Lonjakan saham Amazon membuat kekayaan Bezos mencapai 91,4 miliar dollar AS (Rp1.218,7 triliun). Jumlah itu mengalahkan pendiri Microsoft yang selama ini menjadi mendominasi daftar orang terkaya di dunia versi majalah Forbes. Tapi saat saham Amazon turun, Bill Gates kembali berada di posisi teratas. Jeff Bezos, 53, memiliki sekitar 17 persen saham Amazon, namun namanya juga terdaftar sebagai pemilik pada beberapa bisnis lain. Berikut adalah lima hal yang mungkin tidak Anda ketahui tentang Jeff Bezos, sebagaimana KompasTekno kutip dari BBC, Sabtu (29/7/2017). 1. Pengeluarannya meroket Awal tahun ini Jeff Bezos merogoh kocek 23 juta dollar AS atau Rp 306 miliar untuk sebuah museum tekstil tua di Washington DC. Setelah dirombak menjadi rumah keluarga, keluarga Jeff Bezos akan tinggal di dekat lingkungan eksklusif tempat keluarga Obama tinggal. Di lingkungan yang sama terdapat rumah Ivanka Trump dan suaminya, Jared Kushner. Paling tidak itulah yang dilaporkan oleh Washington Post, sumber yang bisa diandalkan mengingat Jeff Bezos membeli koran itu pada 2013 sebesar 250 juta dollar AS atau Rp 3,3 triliun. Keluarga Jeff Bezos juga memiliki rumah di Seattle dan Beverly Hills. Namun pengeluaran untuk harta benda menjadi tidak penting dibandingkan dengan hasrat terbesar Jeff Bezos, yaitu ilmu roket. Jeff Bezos mengatakan bahwa dia menjual sekitar 1 miliar dollar AS (Rp 13,3 triliun) dari saham Amazon setiap tahun untuk mendanai Blue Origin, proyek yang telah didirikannya untuk mengembangkan perjalanan komersial. 2. Dermawan untuk urusan pisang Adalah gagasan Jeff Bezos untuk mulai memberikan pisang kepada orang-orang yang lewat di kota basis Amazon, Seattle. Ini adalah gerakan yang murah hati, terutama karena sekitar 4.500 orang dilaporkan menerima tawaran pisang gratis setiap hari. Tapi jika dikaitkan dengan kedermawanan, ini masih jauh dibanding miliuner-miliuner lainnya. Walau dia dan keluarganya telah memberikan jutaan untuk amal, Jeff Bezos dikritik karena tidak melakukan hal yang lebih. Dia tidak menceburkan diri untuk kepentingan nirlaba sebesar pendiri Microsoft, Bill Gates, pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, dan lainnya. Dia juga belum bergabung dengan 169 miliuner lainnya yang sudah berjanji untuk memberikan setengah dari kekayaan pribadi mereka. Namun bulan lalu, Jeff Bezos tampak mulai bermain dengan gagasan baru di bidang kedermawanan. Dia mencuitkan sebuah permintaan saran mengenai bagaimana dia dapat memberikan uang yang akan membawa dampak "di sini dan saat ini" -semacam tindakan filantropi yang bisa langsung dilihat dampaknya. Masih harus dilihat usulan mana -mulai dari membangun perpustakaan hingga menjaring bakat teknologi di Afrika - yang benar-benar dia wujudkan. 3. Saudara kandungnya adalah pahlawan sejati Berjuang untuk kebaikan sudah menjadi sifat saudara kandung Jeff, Mark Bezos. Dia memutuskan berhenti dari karier di bidang periklanan untuk bekerja di organisasi anti-kemiskinan di New York, Robin Hood. Dalam TED Talk tahun 2011, Mark Bezos menceritakan pengalamannya bekerja sebagai sukarelawan pemadam kebakaran. Saat itu, dia sangat ingin menunjukkan aksinya. Tapi justru orang lain yang diminta untuk masuk ke dalam bangunan yang sedang membara untuk menyelamatkan anjing pemiliknya. Mark diberi tugas yang kurang glamor untuk menemukan sepasang sepatu. Tapi dia masih sangat bersyukur. Pelajaran yang dia tarik: jika Anda memiliki sesuatu untuk diberikan, betapapun kecilnya, lakukan sekarang juga. Ada ide untuk Jeff? 4. Jeff adalah penggemar sejati Star Trek Salah satu keuntungan menjadi super kaya adalah bisa memanjakan khayalan Anda. Sebagai penggemar Star Trek, Jeff Bezos berhasil mengambil peran kecil dari film terbaru Star Wars. Tapi Anda mungkin akan merasa sulit untuk menemukan dia di film karena di media sosial Vine yang dia kirim, dia menyamar dengan sangat baik di balik topeng keriput berwarna abu-abu. Bagaimanapun, dia belum benar-benar menyamarkan kutu buku di batinnya. Saat kanak-kanak, ia menghabiskan banyak waktu di peternakan milik kakek-neneknya di Texas (belajar untuk memvaksinasi ternak dan keterampilan vital lainnya). Saat itu, ketertarikannya pada angka-angka sudah terlihat. "Pada usia itu saya akan mengambil alasan untuk membuat perkiraan dan melakukan aritmatika kecil. Saya menghitung jarak tempuh bensin kami, saya mengetahui statistik yang tidak berguna mengenai hal-hal seperti belanja bahan makanan," katanya kepada mahasiswa-mahasiswa Princeton tahun 2010. Misalnya, dia menghabiskan beberapa waktu untuk menghitung bahwa merokok kemungkinan akan mengambil sembilan tahun dari kehidupan neneknya. "Saya berharap mendapat penghargaan atas kepintaran dan kemampuan aritmatika saya," katanya. Tapi neneknya menangis. Kakek mengatakan kepadanya bagaimana kadang-kadang "lebih sulit bersikap baik ketimbang pintar." 5. Memiliki pandangan yang visioner Selain hal-hal yang menyenangkan, ia juga memiliki pandangan visioner. Sejak dini dia sudah memikirkan hotel ruang angkasa serta taman hiburan dan kota-kota yang mengorbit di Bumi. Dan impian Jeff Bezos semakin membesar. "Saya ingin jutaan orang hidup dan bekerja di luar angkasa, saya ingin kita menjadi peradaban antariksa," katanya pada Geekwire tahun lalu. Dia memprediksi bahwa dalam beberapa ratus tahun ke depan umat manusia akan memindahkan semua industri berat ke luar angkasa. Imbasnya, bumi menjadi tempat bermukim yang lebih menyenangkan. Bezos juga berencana pergi ke ruang angkasa sendiri, setelah Blue Origin siap membawanya. Tapi seperti slogan Blue Origin yang mengatakan: Gradatim Ferociter, (bahasa Latin yang bermakna "Berjalan langkah demi langkah dengan ganas") mungkin dia bukan orang yang terburu-buru. Editor: Deliusno Sumber: BBC Indonesia, http://tekno.kompas.com/read/2017/07/29/18050007/5-hal-yang-jarang-diketahui-tentang-bos-amazon- TANGERANG, KOMPAS.com - Garuda Indonesia membukukankerugian pada semester I tahun 2017 sebanyak 281,92 juta dollar AS atau Rp 3,66 triliun (kurs Rp 13.000).
Kerugian maskapai tersebut naik 343,33 persen dibandingkan semester I tahun 2016 sebesar 63,59 juta dollar AS atau Rp 826,6 miliar. Direktur Utama Garuda Indonesia, Pahala N Mansury mengatakan, kerugian tersebut salah satunya disebabkan biaya bahan bakar avtur yang membengkak pada semester I sebesar 571,1 juta dollar AS atau Rp 74,24 triliun. "Kalau dilihat dari profit, semester I belum menguntungkan. Kendala Kami masih biaya fuel (bahan bakar). Untuk semester I naiknya 36,5 persen dibandingkan tahun lalu," ujar Pahala saat konferensi pers di Kantor Garuda Indonesia Pusat, Tangerang, Kamis (27/8/2017). Mantan Direktur Keuangan Bank Mandiri ini menuturkan, kerugian tersebut juga disumbangkan dari pembayaran amnesti pajak sebesar 137 juta dollar AS atau Rp 1,78 triliun. "Selain itu Kami juga membayar denda ke pengadilan Australia sebesar 8 juta dollar AS atau Rp 104 miliar. Itu karena kasus persaingan tidak sehat kargo pada tahun 2012," jelas dia. Meski demikian, ungkap Pahala, perseroan mencatatkan pendapatan operasi pada semester I tahun 2017 sebesar 1,9 miliar dollar AS atau Rp 24,7 triliun. Nilai tersebut naik 7 persen dibandingkan tahun lalu. "Tingkat keterisian penumpang pada semester I juga naik tercatat 73,3 persen dibandingkan tahun lalu sebesar 70,8 persen," tambah dia. Penulis: Achmad Fauzi Editor: Muhammad Fajar Marta Sumber: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/27/205144426/semester-i-2017-garuda-merugi-rp-3-66-triliun |
News Archives
August 2021
News CategoriesAll Ekonomi Entrepreneur Finance Hukum/Peraturan Human Resources Profile Inspirasi Technology Umkm Umum |