Budi Satria Isman
  • About
  • Tanya Bisnis
  • Blog
  • Training & Workshop
  • News
  • Contact
  • Member Only

Business and Management

Helping professionals and entrepreneurs develop their skills and businesses

Visit our Store

Seven Eleven resmi menghentikan kegiatannya tgl 30 Juni 2017

23/6/2017

 
Picture
Berdasarkan informasi resmi PT Modern International Tbk kepada pihak OJK, maka karena tidak ada kesepakatan dalam rencana akuisisi PT Modern Sevel Indonesia oleh PT Charoen Phokpand Restu Indonesia maka seluruh kegiatan operasional geraai Sevel akan berhenti mulai tanggal 30 Juni 2017.

Penghentian ini karena memang PT Modern Sevel Indonesia sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk terus menjalankan usahanya.

Oleh karena itu bagi teman-teman yang mempunyai kerja sama dan perdagangan dengan pihak Sevel sebaiknya segera di coba selesaikan. Kemungkinan besar kalau tidak ada calon pembeli business Sevel di Indonesia maka ada kemungkinan mereka akan menyatakan bangkrut.

Pelajaran yang banyak di dapatkan dalam membangun business yang dulunya pionir dalam membuat business model baru, namun gagal bertahan karena tidak melihat core environment mereka yang sudah berubah banyak.

Jakarta 23 Juni 2017

Budi Isman
Adri syahrizal link
23/6/2017 12:22:13 pm

Apakah ada analisa lebih detail pak budi... pengen belajar lebih detail hehehe... kebetula saya punya usaha kinsultan pendamping minimarket.salam pak budi

Budi Satria Isman
23/6/2017 01:12:17 pm

[11:09, 6/23/2017] Chandra Esprecielo: copas dari tetangga sebelah :

Pelajaran Bisnis dari Kisah Kejatuhan Sevel dan Kaskus

7 Gerai Sevel di bilangan Blok M itu telah tutup. Bekas bangunan tokonya tampak jadi kumuh dan tenggelam dalam kesunyian yang pedih.

Modern Group sebagai induk 7-Eleven Indonesia mengakui kerugian yang signifikan, hingga 400-an milyar.

Gerai Sevel yang dulu marak dimana-mana itu satu demi satu tumbang dalam kebangkrutan dan duka yang teramat masif.

What went wrong?

Saya sendiri dulu termasuk pelanggan Sevel. Jika ada janjian konsultasi dengan klien, saya selalu berangkat dari rumah saya di Bekasi jam 5 pagi (pagi amat yak).

Saya kemudian selalu milih rehat sarapan pagi di Sevel yang lokasinya terdekat dengan kantor klien; dengan menu breakfast yang lumayan premium (mahal maksudnya).

Saya mungkin dulu tipe pelanggan ideal yang diimpikan Sevel. Namun kemungkinan tak banyak pembeli yang seperti saya. Yang lebih banyak adalah anak-anak muda yang beli minuman alakadarnya (murah maksudnya) dan lalu nongkrong berjam-jam di kafe Sevel.

Akibatnya cukup fatal : pemasukan sedikit, sementara investasi tempat dan bahan untuk menyiapkan makanan premium telanjur amat mahal. Cost besar, pemasukan sedikit. Ujungnya kolaps.

Sevel mungkin contoh penerapan strategi produk yang stuck on the middle. Ndak jelas. Mau menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa. Mau gunakan prinsip supermarket efisien seperti Indomaret, namun sudah telanjur terkesan premium produknya – karena harus menyewa lahan di lokasi strategis yang amat mahal.

Harap diketahui, menyiapkan menu makanan seperti yang disediakan Sevel (spaghetti, nasi goreng instan, salad) itu mahal ongkosnya. Dan yang pahit : jika tidak laku harus dibuang. Jadi waste-nya amat sangat mahal.

Celakanya, menu varian makanan premium yang bahan bakunya mahal dan harus dibuang jika tidak laku itu; tidak banyak yang beli. Kebanyakan pembeli Sevel ya itu tadi : anak-anak muda yang cuma beli makanan murah lalu nongkrong berjam-jam di lokasinya.

Kisah kejatuhan Sevel memberi pelajaran : inovasi itu penting, namun jika inovasinya salah sasaran, bisa memberikan bumerang yang high-cost.

Pilihan strategi produk yang tidak pas ternyata bisa membuat sebuah bisnis terjungkal dengan penuh luka.

Yang muram : rencana akuisisi Sevel oleh grup Charoen Pokphand juga batal karena ketidaksepakatan bisnis. Kabarnya, pihak pemilik Sevel pusat di luar negeri tidak setuju dengan rencana bisnis yang diajukan Pokphand.

So what’s next?

Solusinya mungkin Sevel harus back to basic (fokus jualan fast moving consumer goods, tanpa harus ribet jualan aneka minuman, kopi dan makanan layaknya kafe). Lalu hanya fokus jualan di lokasi elit dan lingkungan perumahan dan kantor yang premium. Tutup lokasi lainnya yang tidak menghasilkan.

Contoh yang sukses adalah Circle-K di Bali. Anda lihat di Bali, Circle-K sukses karena dia fokus pada jualan consumer goods premium, dan di lokasi yang premium pula (dekat dengan destinasi turis-turis asing).

Jika SEVEL jatuh karena pilihan “product strategy” yang keliru, maka bagaimana dengan kisah menurunnya pamor Kaskus?

Kaskus, kita tahu pernah menjadi salah satu kanal internet paling populer di tanah air. Namun kini, perjalanannya mungkin kian termehek-mehek.
Sejumlah survei menunjukkan, trafik Kaskus makin menurun dan makin ditinggalkan para usernya.

Pada sisi lain, Forum Jual Beli (FJB) yang dulu sebenarnya merupakan salah satu ikon Kaskus kini kian tidak relevan (digilas oleh marketplace seperti OLX, Tokopedia dan Bukalapak).

FJB Kaskus mungkin terlambat melakukan inovasi, dan terkesiap saat melihat Tokopedia dan kawan-kawan melesat cepat.

Sejatinya, Kaskus dulu amat layak diharapkan bertransformasi menjadi Facebook rasa lokal atau WhatsApp rasa lokal. Dengan basis user yang masif, Kaskus dulu punya segalanya untuk menjelma menjadi Raksasa Social Media Indonesia.

Sayang beribu sayang, mereka tidak cukup inovatif, sehingga kian tenggelam dilibas FB, Line, Instagram dan WA (yang semuanya adalah produk asing).

Kaskus mungkin kembali menjadi korban Innovator’s Dilemma : terlalu mencintai produknya sendiri (forum diskusi); dan terlalu asyik dengan produk ini, sehingga jadi kurang sensitif dengan perubahan yang terjadi.

Innovator’s Dilemma acap membuat korbannya jadi rabun : alias buta dengan aneka perubahan di sekelilingnya, dan lambat bergerak saat dinamika eksternal berubah.

Nokia, Yahoo, dan Blackberry adalah deretan korban innovator’s dilemma yang dilibas oleh disruptive change yang terjadi. Kaskus adalah contoh korban terbaru dari fenomena kelam ini.

Tren penurunan trafik Kaskus ini mesti diantisipasi dengan sejumlah langkah terobosan. Sebab jika tidak, lama-lama Kaskus bisa mati seperti Friendster. Atau makin tidak relevan.

Ada dua pelajaran bisnis ringkas yang layak dikenang dari kasus jatuhnya SEVEL dan tren penurunan kinerja Kaskus.

Pelajaran Bisnis # 1 :
High Cost Innovati

Fajar info
23/6/2017 09:38:29 pm

Terimakasih pencerahanya pa 🙏
Selalu ada peluang dan ide kreatif .. Sevel new reborn


Comments are closed.

    Author

    Pengalaman sebagai profesional dan CEO beberapa perusahaan dan passionate mengembangkan wirausaha Indonesia

    Categories

    All
    Business
    Entrepreneurship
    General
    Leadership
    Profile Inspirasi
    Technology
    UMKM

    Archives

    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    April 2017
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015

    RSS Feed

    Tweets by @BudiIsman
    Picture