Budi Satria Isman
  • About
  • Tanya Bisnis
  • Blog
  • Training & Workshop
  • News
  • Contact
  • Member Only

Business and Management

Helping professionals and entrepreneurs develop their skills and businesses

Visit our Store

Runtuhnya Seven-Eleven Indonesia bukan masalah kebijakan pemerintah - Tanggapan tulisan Prof. Rhenald Kasali

26/6/2017

 
Picture
Jakarta 26 Juni 2017,
​
Seven Eleven sedang jadi topik hangat bagi kalangan entrepreneur, pengamat business maupun mungkin pemerintah sebagai regulator. Selain dari persoalan tidak atau belum terjadinya kesepakatan akuisisi oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang awalnya mau membeli dengan nilai 1 Triliun Rupiah, Sevel juga menjadi rujukan banyak pihak melihat kondisi business retail Indonesia.

Banyak pihak yang mencoba memahami apa yang terjadi karena walaupun situasi ekonomi Indonesia tidaklah sebaik tahun-tahun sebelumnya, terutama di industri retail, namun menurut data APRINDO  tahun 2016 masih ada pertumbuhan dan tahun 2017 di perkirakan masih tumbuh walaupun tidak sebaik tahun 2016. Justru kwartal 1 2017 APRINDO mengatakan pertumbuhan retail "Negative" sebesar 20% namun di harapkan akan pulih kembali di pertengahan tahun ini.

APA YANG MENYEBABKAN SEVEL JATUH?

Kalau kita baca berita dan analisis para pakar manajemen, blogger dan juga pemerintah, maka ada beberapa yang saya tangkap penyebabnya:

1. Business model yang tidak cocok
2. Industri retail yang sedang lesu
3. Kebijakan pemerintah yang melarang Mini Market menjual Alkohol
4. Kurang tanggapnya Regulator terhadap perkembangan business dan trend
5. Ekspansi yang agresif


Prof. Rhenald Kasali dalam tulisan beliau di Kompas.com tanggal 26 juni 2017  cukup pedas mengkritik regulator yang beliau anggap cukup besar andilnya dalam persoalan Sevel ini.

Saya kenal Prof. Rhenald dan mengagumi tulisan-tulisan beliau dan sering saya share dengan teman-teman pegiat wirausaha di tanah air. Analisis beliau yang cermat, tidak ngawur dan bisa di pertanggung jawabkan. Namun kali ini saya kurang sependapat dengan beliau karena banyak sekali faktor baik internal Sevel maupun external yang mempengaruhi kinerja Sevel sampai dengan kondisi sekarang ini.

Tanpa kita paham secara detail dan melihat data Sevel secara utuh maka akan sulit kita memberikan analisa yang tepat. Namun dengan melihat data PT. Modern International tbk. yang tersedia, maka ada cukup banyak informasi yang bisa kita dapatkan untuk mencoba memberikan gambaran persoalan mereka.

Dalam analisis yang biasa saya lakukan, alat sederhana yang selalu saya pakai adalah "Smart Business Map" dengan 3 komponen utama yaitu Playing field, Market Landscape dan Operational Profitability. Dari ke 3 komponen itu ada 12 pertanyaan inti yang saya coba jawab dan melihat kondisi kesehatan sebuah business seperti Sevel ini.

PLAYING FIELD

Melihat kondisi playing field Sevel Indonesia ini ada beberapa masalah yang saya lihat:

1. Industri retail yang mereka pilih dengan Category yang "Banci" mungkin menjadi masalah awal. Termasuk tentunya disini adalah masalah DNA business yang mereka pilih. Restoran/Cafe atau Convenience store? Jarang saya lihat business yang "banci" bisa sukses, karena pilihan category business dan DNA kita akan menentukan juga Persoalan (problem) konsumen yang ingin kita selesaikan, business model, Target Market, Value yang di ciptakan, Sales starategy sampai ke Operational model.

​" positioning dari bisnis ini yang diusung sejak awalnya buka gerai pertama di Bulungan pada akhir tahun 2009, yaitu untuk menjadi “Food Store Destination”, konsep 7-Eleven di Jakarta memang sengaja difokuskan untuk penyediaan makanan dan minuman segar dengan kualitas yang baik, aman dan higienis, cepat, nyaman dan praktis serta dengan harga yang terjangkau. Sekitar 50% area gerai memang digunakan untuk penyediaan berbagai macam program dan varian makanan dan minuman segar. "

2. Pemilihan Category yang menurut mereka sesuatu yang baru di tahun 2009 menyebabkan kurang tegasnya Target mereka. Karena business model mereka yang cukup mahal akan sulit bisa profitable kalau pada kenyataannya lebih banyak kalangan anak-anak muda yang datang untuk nogkrong atau pinjam tempat kumpul-kumpul dengan belanja yang sedikit.

3. Dengan potensi pasar retail yang masih cukup besar di Indonesia harusnya bukan menjadi persoalan untuk bisa berkembang. Namun dengan model business yang mereka ciptakan membuat Regulator menjadi kesulitan untuk menetapkan izin-izin mereka. Namun sebagai perusahaan yang profesional masalah "Core environment" yang bisa mempengaruhi kelangsungan business mereka harusnya sudah di antisipasi. Pemerintah adalah salah satu stake holder (Core environment) yang mereka harus kelola. Kalaupun ada kebijakan pemerintah yang negatif terhadap business mereka seharusnya mereka bergerak menyesuaikan atau kalau bisa melakukan lobby agar pihak pemerintah bisa memahami inovasi Sevel ini.

MARKET LANDSCAPE

Melihat Market Landscape mereka dari luar maka ada beberapa point yang menurut saya masih belum jelas:

1. Apa yang membedakan mereka dengan pesaing mereka? istilah simplenya Unique Selling Proposition (USP) mereka apa? Value apa yang mereka berikan kepada pelanggan mereka? Saya adalah pelanggan Sevel dari awal mereka buka gerai pertama di kawasan Blok M Jakarta. Yang saya rasakan perbedaanya hanyalah sebuah convenience store yang punya tempat duduk dan Wifi gratis dengan makanan siap saji yang terbatas menunya. Perbedaan yang mudah sekali di tiru oleh pesaing mereka, terutama Indomaret dan Alfamart yang sudah punya fondasi dan basis yang lebih kuat dan efisiensi operasional.

2. Basis dari sales dan distribusi mereka adalah gerai retail yang di buka di tempat yang strategis dan premium dan tentunya ini akan membawa dampak juga terhadap biaya yang mereka harus keluarkan. Walaupun mungkin banyak sekali gerai mereka mengambil alih tempat dan lokasi bekas usaha mereka sebelumnya (Modern Film/fuji) namun tetap akan ada biaya.

3. Sebagai sebuah "Brand" yang sudah terkenal di dunia dan indentik dengan "Convenience Store" maka agak sulit mereka akan lepas dari image tersebut dan mencoba menciptakan sebuah Category baru.

OPERATIONAL PROFITABILITY

Masalah Operational Profitability ini menurut saya adalah masalah mereka yang paling besar. Bukan masalah regulasi.

1. Melihat data keuangan mereka sejak tahun 2012 -2016 Sales Revenue mereka memang meningkat namun pertumbuhan revenue mereka (revenue generation) lebih disebabkan oleh pertumbuhan Horizontal gerai mereka sehingga sampai tahun 2014 mereka punya 190 Gerai dan baru tahun 2015 mereka tutup 20 gerai yang tidak produktif, namun membuka 18 gerai yang baru. Penurunan penjualan tahun 2015 dimana aturan baru pemerintah yang tidak memperbolehkan mini market menjual produk beralkohol rendah tidak terlihat banyak pengaruhnya.

                 Outlet         Sales Revenue          Sales/per outlet    Pertumbuhan
2014        190              971,771 M                   5.1 M
2015        188              886,843 M                   4.7 M                      -8.7% dari thn 2014
2016        161              675,275 M                   4.2 M                      - 23.8% dari thn 2015


Tahun 2015 memang Sales revenue mereka mulai turun baik secara total maupun per outlet mereka. Kalau kita lakukan dengan perbandingan usaha retail lainnya seperti Alfamart maka mereka masih mencatat pertumbuhan positif. Begitu juga data APRINDO yang mengatakan tahun 2015-2016 masih adanya pertumbuhan retail tersebut.

Dengan sales Revenue yang hanya rata-rata sekitar 4-5 M per tahun dengan gross margin yang kecil, maka akan sangat sulit mereka akan bisa bertahan. Dalam laporan mereka ke pemegang saham, mereka memang sudah mulai mencari "revenue stream" yang lain sperti menjual pulsa, pembayaran listrik dan sebagainya. Namun ini belum bisa menutup kekurangan dari pemasukan utama mereka makanan dan minuman.

2. Dari sisi biaya, saya lihat dalam laporan keungan mereka memang menjadi PR terbesar mereka. Operational cost mereka yang sangat tinggi, beban bunga jangka pendek dan panjang yang besar serta "Cash Flow" yang sudah mulai negatif sejak 2 tahun yang lalu menyulitkan operasional mereka.

Mengutip penjelasan di Laporan Keuangan mereka tahun 2016:

"Penjualan bersih pada 2016 turun sebesar Rp 337,3 Milliar atau sebesar -27,45% menjadi Rp 891,4 miliar dibandingkan 2015 sebesar Rp1.228,7  miliar. Penurunan  pendapatan usaha ini terutama disebabkan oleh melambatnya daya beli dan konsumsi konsumen , kompetisi pasar yang tinggi serta  hilangnya pendapatan dari penutupan 25 gerai yang tidak memberikan performa yang baik serta ketatnya arus kas Perseroan sehingga keberadaan persediaan di gerai- gerai terbatas. Untuk pendapatan komprehensif 2016, terjadi penurunan sebesar Rp 583,9 miliar atau turun sebesar –1066,2% jika dibanding dengan tahun sebelumnya, sehingga Perseroan mencatatkan kerugian sebesar Rp 638,7 Milliar. Faktor –faktor penyebab kerugian   adalah karena penurunan pendapatan, penurunan margin gross profit untuk menjaga daya saing pasar ,  kenaikan biaya operasi akibat biaya penutupan gerai 7-Eleven yang  serta biaya-biaya perampingan operasi bisnis seperti biaya pesangon bekas karyawan. "

3. Masalah lain yang mungkin bisa terjadi menurut saya adalah besarnya investasi mereka untuk Joint Venture dan persiapan business Fresh Food dan Central Kitchen. Ini adalah masalah "Core Resources" mereka. Namun mengelola core resources tidak selalu harus mendirikan pabrik dan supply sendiri. Apa lagi dengan kondisi Cash Flow yang kurang baik.

4. Yang mungkin tidak terlalu kelihatan adalah masalah Organisasi, Tim Manajemen dan SDM mereka. Dalam business apapun yang baik maupun yang sedang tidak baik masalah SDM dan tim manajemen pasti besar pengaruhnya.

Secara singkat, masalah Seven-Eleven Indonesia ini multi dimensi dan tidak ada satu faktor saja yang mempengaruhinya. Namun secara umum, bisa kita lihat masalah internal pengelolaan yang menurut saya masalah yang paling besar dan bukan masalah external, apa lagi masalah regulasi yang menyangkut business retail dan mini market.

Tidak salah menurut saya pihak Charoen menunda pembelian Sevel ini karena dengan nilai 1 Triliun mungkin terlalu mahal untuk sebuah business dengan Revenue 675 M setahun dan terus menurun dan lisensi Franchise yang tinggal 12 tahun. sayangnya saya tidak mendapatkan data book value dari business Seven-Eleven yang terpisah dari induknya.

Budi Isman
CEO Mikroinvestindo
Founder Onein20Movement (OIM) proindonesia





Angga Solixin link
26/6/2017 08:46:31 pm

Analisa tajam sesuai ilmu SBM (Smart Business Map). Mantaps....

Budi Satria Isman
26/6/2017 08:52:45 pm

Ada manfaatnya belajar SBM yah

Hakiki link
26/6/2017 08:58:24 pm

Penjelasan yg komplit terutama bedah revenue stream

Budi Satria Isman
26/6/2017 09:06:24 pm

Terima kasih

fathur rozaq link
26/6/2017 09:21:37 pm

Terima kasih ulasannya pak budi

Lywa
26/6/2017 09:35:13 pm

Snslisanya Lebih speak by data dan fokus terarah... Cool

Gindra Satriyadi
26/6/2017 10:18:17 pm

Setiap keberhasilan dan ke gagalan selalu dapat di analisa dengan baik untuk perkembangan usaha. Banyak manfaat belajar SBM 👍

Budi Satria Isman
26/6/2017 11:45:41 pm

Thank you Mas Lywa..memang harus data dan fakta

Ramanda Randitia
27/6/2017 12:03:29 am

Mantap pak, selain hal di atas juga saya ada 1 tambahan yaitu :
Business owner yang beragam, salah satunya properti.. dan tidak focus, salah satu retailer di indonesia skr ada yg punya masalah mirip dengan mereka. Kita liat saja mudah2an nasibnya tidak sama.

Budi Satria Isman
27/6/2017 08:46:25 am

he..he Yup ..bisa jadi mas

Choirul H
27/6/2017 05:03:55 am

Alhamdulillah, dapat ilmu lagi dari analisanya. Matur suwun Pak Budi.

Budi Satria Isman
27/6/2017 08:45:23 am

Sama sama mas..moga ada manfaatnya

Karnadi
27/6/2017 05:19:50 am

Memahami SBM dengan study kasus menjadi lebih powerfull..
Terima kasih Pak Budi.. Semoga Analisis pak budi bisa dijadikan dasar sevel melakukan turnaround bisnisnya..
ditunggu tulisan pak budi tentang kisah turnaround bisnis menggunakan SBM.. InsyaAllah akan sangat membantu bisnis-bisnis yang sedang bermasalah.

Budi Satria Isman
27/6/2017 08:43:28 am

Sama sama mas Karnadi..semoga akan banyak lagi yang bisa kita jadikan case study

Dodok sartono
27/6/2017 05:26:56 am

Mantabb padat dan bergizi.... yg hebat lagi ini jwban utk prof RK. Skor 1:0 utk pakas SBM. saya bangga pernah belajar sama bapak

Budi Satria Isman
27/6/2017 08:44:24 am

Thank you Mas

Dody Ashadi link
27/6/2017 05:44:18 am

Sepakat Pak Budi bisnis yang mudah ditiru dan tidak memiliki uniq seling yang kuat membuat competitor yg lebih creatif dan flexible dipasar semakin kuat

Rusli Right Quadrant
27/6/2017 08:39:43 am

Keren Pak Isman,, Cukup Detail dan Masuk Di Akal.. Semoga Bisa Jadi Pembelajaran Untuk Kita Semua.. ^_^
Bisnis Gagal Sudah Biasa, Yang Penting Mental Usahawannya Tidak Ikut Tumbang.. 😅😅😅😅

Budi Satria Isman
27/6/2017 08:41:47 am

Terima kasih mas..semoga menjadi penyeimbang analisis

Tian Harianto
27/6/2017 08:49:18 am

Ijin memanggapi yaa.
Tulisan pak Budi Isman, menarik ; Jika tidak di kaitkan dg tulisan Prof Rhenald.

Tetapi karena tulisan ini menanggapi tulisan Prof Rhenald, tanggapan tulisan ini menurut saya tidak memahami konteks tulisan Prof Rhenald.
Tulisan pak BI berjalan sendiri , seenaknya.

Prof Rhenald dengan jelas menyampaikan analisanya adalah dari kejadian sebelum 2013 , sedangkan para analis lainnya membahas paska 2013 , dan di tulisan pak BI mempertegas pernyataan Prof Rhenald, bahwa an
Pak BI kembali membahas paska 2013.

Prof Rhenald dengan jelas mengatakan, setelah 2013, Sevel dipaksa melepas mesin turbonya ...

Sebagai seorang pengusaha, Pak BI akan mengerti betapa sulit tantangan yang di hadapi oleh Sevel kala itu.

Menyebut bisnis model Sevel banci dengan konotasi yang negatif sama dengan mempertanyakan Sepatu Adidas kategori Boost sebagai sepatu banci yang tidak jelas sepatu atau kaos kaki.
Kita tahu kategori produk ini meledak penjualannya di seluruh dunia saat ini.

Banci adalah juga usp nya sendiri.
Gaya presenter Banci pernah booming di TV2 nasional selama beberapa tahun kemaren sebelum di larang oleh KPI.

Konteks tulisan Prof Rhenald adalah jangan mengikuti lazy icumbent sekaligus mengingatkan regulator agar berpikiran terbuka terhadap perubahan. Mendorong regulator adaptif dan kreatif mendukung usahawan kekinian untuk kemenangan Indonesia di kancah dunia.

Salam

Budi Satria Isman
27/6/2017 09:52:07 am

Diskusi yang menarik dan fair menurut saya tanggapan pak Harianto Tan. Jelas saya tidak mengatakan regulator tidak punya masalah, terutama dalam mengejar ketertinggalan kebijakan dalam menghadapi perubahan yang demikian cepat. saya hanya menyampaikan dalam konteks kesulitan sevel, dimana persepsi yang timbul adalah besarnya kontribusi regulasi. Saya juga tidak mengatakan USP banci tidak bisa menjadi sesuatu yang berkembang, saya mengatakan jarang yang saya lihat USP yang tidak "Clear" berkembang. Kalau adapun mungkin itu pengecualian. Intinya peroslan mereka multi dimensi. Terima kasih tanggapan dan kritik nya Pak Harianto Tan

Afrial Alminangkabawi
1/7/2017 08:00:55 am

Setuju dengan Pak BI.
Regulator juga memberikan pengaruh tetapi tidak terlalu signifikan.
Sevel tidak mau belajar dari pesaingnya dan seharusnya mereka harus berjalan selangkah di depan pendatang baru sekelas. A*** dll. Karena mereka kurang inovative dengan mempertahankan metode menjaring kawula muda saja, maka seperti tulisan Bapak di atas pasti terjadi.
Konsumer akan nongkrong selama mungkin dengan belanja seminim mungkin.... Hitung hitung mereka akan menjadikannya sebagai tempat kongkow dan istirahat berbayar

Harry
3/7/2017 07:54:14 pm

Saya suka diskusi Pak Tian dan Pak Budi, tajam dan berbobot

Saya konfirmasi saja Pak Budi, "banci" itu bukannya kita sebagai orang luar melihat existing business yang sudah mapan dan berjalan? Buat para new inventor dan new start up mungkin menganggap ini peluang, area yg belum digarap, atau cuma sekedar modifikasi model. Kata2 banci digunakan hanya bagi orang yg melihat model bisnis "sekarang/existing" tidak visioner

Mungkin buat saya, kekesalan prof rheinal adalah lazy incumbent yg kesannya menang dikasus sevel ini. Sementara untuk kasus taksi online, lazy incumbent tdk menang.

Sebagai seorang pengajar yg sifatnya visioner, mungkin arah prof rheinald jiwanya kesana, bahwa innovasi harus didukung dan diberi ruang. Persaingan harus sehat. Pemain lama harus terus berinovasi jangan berlindung di existing regulation

Salam

anto
3/7/2017 08:42:56 am

Dari awal sevel sudah dikonotasikan negatif dengan penggunaan kata banci. Tidak dalam tulisan, dalam sebuah wawancara, prof rhenald membahas faktor faktor lain yang membahas runtuhnya sevel bukan semata mata hanya regulasi saja. Sy lupa dimana, tp kalau ditonton, akan jelas pendapatnya dibanding tulisannya saja. Sehingga respon pendapat prof rhenald bisa ditulis secara utuh

Budi Satria Isman
3/7/2017 09:15:48 am

Terima kasih atas masukannya. Saya menulis atas dasar apa yang beliau tulis dan persepsi saya. Tidak ada yang salah dan benar...yang tahu lebih banyak adalah orang Sevel sendiri. Soal kata "banci" kalau kita berpikir negatif ya kesannya negatif..kata yang di pakai untuk mempertegas "ketidak jelasan" category" atau DNA business Sevel.

torasham
27/6/2017 05:38:10 pm

nampaknya point 3 dr OP yg kurang diperhatikan dampakny oleh Sevel

Selo link
27/6/2017 06:02:13 pm

Semua analisa ttg sevel belakangan ini hampir bisa dibilang semua ada benarnya.
'customer base business' yg agak berbeda dengan konsep bisnis di lokal sini memang cukup dilematis.
Paling terpukul ialah spot gerai dengan crowd yg banyak tp duitnya sedikit
Kalo saya pikir, baiknya Sevel berubah aja jadi Retail Food Truck

Budi Satria Isman
27/6/2017 11:13:30 pm

He..he yup saya hanya mencoba melihat dari sisi yang lebih luas

Citot tatar kusnoto link
27/6/2017 09:52:28 pm

seperti yg saya duga, bang renald memang hanya melihat satu sisi, regulator yg kaku thd bisnis disruptif seperti sevel (gabungin convenience + cafe), kayaknya terlalu memyimpelkan.

smua bisnis, tentu akan bereaksi thd regulator (pemerintah) dan menempatkannya sebagai core environment yg perlu perhatian khusus.

tapi sudah pasti, apapun itu core environment yg berpengaruh, kalau profitability nya bagus, bisnis akan jalan terus.

toh dampak dua ijin dari regulator (ijin minimarket dan cafe) secara riil tidak menunjukkan impact ke profitability sevel.

jd tetep aja masalah tersisa di How To Grow the money within sevel.... jika ini bermasalah, tutuplah tu sevel.

Budi Satria Isman
27/6/2017 11:12:07 pm

Terima kasih..betul sekali. Walaupun saya tentunya tetap setuju ada masalah di regulasi terutama dalam kecepatan untuk meneyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Tapi dalam konteks Sevel ini dan juga mungkin dalam kasus business lainnya, biasanya persoalan mereka multi dimensi. Untuk Sevel saya kira masalah internal mereka yang lebih besar

Putra
28/6/2017 08:31:55 am

Sayang sekali. Sejarah baru, sevel bisa tutup di Indonesia...di negara lain sevel sangat berkembang. Klo menurut pandangan saya pak budi, SALAH SATU faktor juga kompanye "cintai produk dalam negeri" sedikit banyaknya mempengaruhi Pola pikir masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kecil, (karena sevel tidak ada di pekanbaru) saya pribadi aja klo membelikan fried chiken untuk anak2, lebih memilih produk lokal, toh produknya sama, hanya merk yg berbeda.

Masyarakat indonesia mulai tumbuh semangat nasionalisme nya...Apa lagi Indomaret dan Alfamart melakukan ekspansi secara besar besaran, dengan strategi unik dan lebih flexible..(USP nya Flexible :). beberapa outlet yg potensial mereka tiru konsep seperti Sevel, tempat nongkrong anak2 Muda lengkap dgn segala fasilitasnya...di tempat tertentu mereka buat standart outlet yg sangat2 low cost...Kita lihat kedepannya...perusahaan sejenis yg bukan milik pribumi dan tidak flexible siap-siap mengalami hal yg sama...

Yang namanya pandangan boleh-boleh aja kan pak Budi ya... O ya saya juga ikut workshop SBM nya Bapak...Komentar ini bagian dari pembelajaran saya dan ingin Mendalami Ilmu SBM...Terima kasih.

Budi Satria Isman
28/6/2017 06:07:19 pm

Luar biasa...pendapat dan analisa yang bagus dan terus belajar. Pakai SBM untuk melihat dan analisa perusahaan atau business yang mau di lihat....minimal bisa kelihatan dimana saja kemungkinana kekuatan dan kelemahan mereka. Salam dan semoga bermanfaat

Mardiyah Hayati link
28/6/2017 04:19:33 pm

Pengayaan materi kuliah yang keren, terima kasih pak... :)

Budi Satria Isman
28/6/2017 06:08:01 pm

Terima kasih juga...semoga ada manfaatnya

Rubiyanto. RWIN Development link
28/6/2017 06:42:30 pm

Jadi makin paham, pentingnya tool SBM khususnya USP untuk pengusaha. Salam hormat Untuk Pak Budi Isman.

Budi Satria Isman
28/6/2017 06:46:54 pm

Terima kasih juga mas..semoga ada manfaatnya

Surja Dharma
29/6/2017 12:24:28 pm

Saya justru setuju sekali dg ulasan pak Budi.
Karena saya tidak memandang perubahan regulasi yg melarang penjualan minuman beralkohol berdampak kepada para peritel terbukti bahwa semua ritel format serupa (small size) , medium size maupun big-box juga tidak terpengaruh.

Kebetulan sekitar 3.5thn lalu saya pernah diminta secara formal oleh pihak manajemen Sevel yg memang saya kenal untuk melakukan review atas retail format implementationnya. Saya pernah sampaikan bahwa ada kelemahan crucial atas implementasi formatnya berdasarkan retail-knowledge atas bagaimana Convenience Store seharusnya (bukan sebagai minimarket) termasuk perbandingannya implementasinya di US (sebagai principal Sevel Indonesia, yg banyak mengimplenentasikan gas-station store) dan bagaimana success story 7-eleven di negara asalnya Jepang yang total berbeda juga.
Crucial leak dalam format implementation inilah yang saya percayai sejak 3.5 tahun lalu akan berdampak negatip atas kelangsungan bisnisnya.

Sebagai revisi terhadap salah satu ulasan pak Budi berkaitan non-operating income Sevel (dari penjualan ticket, pulsa, dsb) menurut saya ini bukan disebabkan oleh kinerja perusahaan yg 'kepepet' tetapi justru itu merupakan bagian feature Convenience Store yang harus dilakukan sebagaimana di Jepang yang sudah mampu memberikan kontribusi sekitar 40% dari total profit. Saya melihat justru market landscape Indonesia belum sesuai dengan kebutuhan ini yg selama ini dikenal sebagai Seamless landscape business.

Kalau diperlukan saya dengan suka hati berikan ulasan detail secara retail-knowledge (micro dan tidak terkait dengan macro economy karena saya percaya secara macro pertumbuhan FMCG retail masih baik sedikitnya sampai era 2020-2025).
Sekali lagi sayang saya masih belum mempunyai media untuk menyampaikan ulasan meskipun saya berharap bisa berguna bagi pelaku retail lainnya

Budi Satria Isman
29/6/2017 12:59:27 pm

Terima kasih mas Surja Darma. Luar biasa masukannya dan saya setuju koreksi mas surya soal pendapatan lain2 nya tersebut ternyata memang dari awal 2009 mereka sudah masukan dalam strategi revenue stream mereka.

Kalau ada kesempatan nanti bisa kita KOPDAR untuk tukar pikiran melihat persoalan retai Indonesia. Thank you senang kenalan

Paul S.
29/6/2017 05:02:59 pm

Dari info yang saya dapat, salah satu masalah besar Sevel di Indonesia adalah karena izin usaha yang dimiliki berupa izin restoran, bukan izin minimarket. Karena izin restoran ini ppn yg dikenakan oleh vendor tidak dapat diperhitungkan sebagai pajak masukan. Berbeda dengan kompetitornya yang memiliki ijin minimarket, ppn vendor bisa diperhitungkan sebagai pajak masukan. Dari sini struktur biaya Sevel jadi jauh lebih tinggi dibanding minimarket..

Budi Satria Isman
29/6/2017 10:20:08 pm

Mas Paul....terima kasih masukannya dan pasti ada pengaruhnya. Namun menurut data yang kalau di lihat dalam laporan tahunan mereka dari tahun 2009 - 2016 maka faktor ini bukan faktor utama.

Paul S.
29/6/2017 11:06:18 pm

Ini memang info yang belum banyak terdisclose. Jadi PT Modern Putra Internattional ngeyel pake perhitungan ppn masukan bisnis ritel. Sementara kantor pajak bersikukuh ppn dari vendor tak bisa diperhitungkan sebagai pajak masukan Sevel karena ijin nya restoran. Akumulasi bertahun2 membuat Sevel kurang bayar pajak sangat besar menurut kantor pajak.. diduga kewajiban pajak yang sangat besar (yang belum terdisclose) ini yang membuat CP batal mengakuisisi sevel..

ilmudes link
29/6/2017 11:43:38 pm

Wih,sampai menelisik pajak juga,luar biasa. Kalau pajak masukannya tidak bisa diperhitungkan,berarti ppn bisa besar itu kurang bayarnya. Tp mungkin bisa dibiayakan untuk yang pm tidak diakui,jd mempengaruhi laba secara keseluruhan.

Ganda
1/7/2017 01:48:08 am

Ini sangat mungkin, dan kalau akumulasi ppn yg sudah di pungut vendor tidak bisa dimasukkan sebagai ppn masukan maka akan sangat banyak ppn yg kurang bayar, belum lagi pajak restaurant? Yg jelas sepertinya ada unsur dari regulator mempersulit pihak lain diluar dua yg besar itu untuk masuk ke bisnis chain minimarket... Sudah tidak ada yg sanggup

ilmudes link
29/6/2017 11:37:50 pm

Lengkap sekali penjelasannya. Saya sendiri juga penasaran,kenapa akhir2 ini sering mendengar yg pada runtuh. Mulai nokia,yahoo,sekarang sevel. Hadeh

Fuad yamani
2/7/2017 10:06:40 am

Saya berpengalaman di bisnis food retail 10 tahun di Amerika saya kira saya tahu jalan keluarnya

Budi Satria Isman
2/7/2017 01:26:00 pm

Luar biasa..alhamdulillah .semoga bermanfaat

Budi Agus Santoso link
2/7/2017 02:00:19 pm

SBM sangat banyak manfaatnya, terutama saat mencoba menganalisa kasus Sebelumnya begini. Thanks pak Budi Isman.

Budi Satria Isman
2/7/2017 03:14:15 pm

Alhamdulillah...

Malik
3/7/2017 07:03:46 am

Penjelasan yg cukup lengkap dan layak menjadi studi kasus.

Puput T. Hardianto
3/7/2017 02:56:14 pm

Terimakasih Pak ilmunya

Budi Satria Isman
3/7/2017 03:24:05 pm

Sama sama mas..semoga ada manfaatnya

lady mia
6/7/2017 04:21:18 pm

KABAR BAIK!!!

Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.


Comments are closed.

    Author

    Pengalaman sebagai profesional dan CEO beberapa perusahaan dan passionate mengembangkan wirausaha Indonesia

    Categories

    All
    Business
    Entrepreneurship
    General
    Leadership
    Profile Inspirasi
    Technology
    UMKM

    Archives

    October 2017
    September 2017
    July 2017
    June 2017
    April 2017
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015

    RSS Feed

    Tweets by @BudiIsman
    Picture